(Tulisan ini sangat personal—salah satu catatan paling personal yang pernah aku tulis. Jika anda tidak suka atau tidak siap berhadapan dengan catatan personal, aku meminta dengan hormat untuk tidak melanjutkan membacanya. Catatan ini terdiri dari dua bagian yang masing-masing ditulis pada waktu berbeda. Bagian pertama ditulis lebih sepuluh tahun lalu, ketika aku belum menikah dan memiliki anak. Bagian kedua ditulis beberapa hari terakhir ini.)
I.
Tentang nama
HURUF M berdiri di depan namaku seperti teka-teki yang mudah ditebak. Seratus persen mereka yang baru mengenal aku menjawab keliru ketika berurusan dengan huruf tersebut. Namun, kita tahu, selalu ada kisah rumit di balik hal-hal yang tampak sepele.
Beberapa pembaca catatan ini barangkali sedang melakukan kesalahan seperti kerap dibikin para pemandu diskusi di mana aku jadi pembicara. Mereka, bermodalkan kesoktahuan yang gegabah, yakin bahwa M singkatan dari Muhammad. Mereka tidak sadar telah menjatuhkan pikiran mereka ke liang generalisasi yang berbahaya. Mereka lupa, di kamus manapun, umum tidak pernah betul-betul berarti betul.
Aku senang dipanggil Muhammad. Terdengar indah. Seperti doa. Kesalahan yang indah itu kerap menolong aku membuka pembicaraan. Mengawali sesuatu, kita tahu, adalah pekerjaan yang sulit, termasuk berbicara di depan khalayak, apalagi bagi seorang yang gampang gugup seperti aku.
Aku akan mulai mengisahkan huruf M di namaku—seperti yang aku lakukan sekarang—untuk menarik perhatian orang sembari menyembunyikan kegugupan.
Nama di balik huruf M itu adalah hasil kesepakatan kakekku yang mengagumi seorang kyai, ibuku yang menyukai puisi, dan ayahku yang menginginkan anaknya memiliki nama yang terdengar unik dan keren.
(Pada suatu kesempatan—aku diundang menjadi guru tamu—, di hadapan ratusan siswa sekolah menengah Islam terpadu, moderator menyebut nama saya sebagai Muhammad Aan Mansyur. Aku, saat mulai bicara, mengoreksi sembari bercanda, “M di depan namaku, sebetulnya, bukan Muhammad. Namun, Metafora.”)
Aku benci namaku.
Teman-temanku sering menertawakan namaku. Guru-guruku kerap menganggap aku aneh hanya karena namaku terdengar mirip nama orang Kristen.
Aku bertanya kepada ibuku, tetapi ia memintaku bertanya kepada ayahnya. “Tamat Sekolah Dasar nanti,” kata kakekku, “masuklah ke pesantren As’adiyah.” Ia selalu seperti itu. Ayah ibuku—yang meninggal sebelum aku tamat Sekolah Dasar—ingin cucunya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya sendiri.
Tamat SD, sesuai saran kakekku, aku menjebloskan diri ke Pesantren As’adiyah Sengkang. Nenekku menangis karenanya. Ia khawatir penyakit di jantungku sering kumat. Ia tidak mampu membayangkan cucunya pingsan, seperti kerap terjadi ketika aku kelelahan, dan ia tidak ada di dekatku.
Hari pertama di pesantren, para ustad bertanya: Apakah kau cucu pendiri pesantren ini? Dari sana, aku tahu namaku meminjam nama belakang kyai yang membesarkan pesantren tersebut. Di dinding ruangan tempat para ustad itu bertanya tergantung beberapa pigura kayu berisi foto-foto hitam. Di bawahnya tertulis nama-nama di mana aku menemukan namaku juga. Suara kyai yang dikagumi kakekku itu hampir setiap hari memenuhi rumah kecil kami bahkan jauh hari sebelum aku lahir melalui kaset yang sering diputar kakekku.
Beberapa bulan setelah mengetahui asal-usul namaku, aku memutuskan pergi dari pesantren. Mencari tahu, bertanya-tanya, sering kali memang jauh lebih indah daripada mengetahui.
Namaku bukan Martin. Orang sering menebaknya begitu. Namaku bukan Marten, meskipun waktu kecil aku sering dipanggil seperti itu untuk ditertawakan karena terdengar seperti nama orang Kristen dan orang Toraja. Bagi sebagian orang Bugis, terutama di tempat aku lahir dan tumbuh, ihwal semacam itu adalah sebuah keganjilan yang lucu.
Namaku bukan Maratang. Meskipun nama itu akan jauh lebih berterima di lidah dan telinga orang Bugis.
Aku menyingkat namaku karena beberapa alasan; salah satunya sudah kuceritakan. Huruf M mulanya berdiri di belakang sebagai inisial ayahku: Mansyur.
Namaku Martan M, sebelum berubah menjadi M Aan Mansyur.
Tiap kali aku memperkenakan diri, ada saja orang berharap aku dan orang-orang lain tertawa sambil melontarkan lelucon: Anaknya Mansyur S, ya?
Mereka tertawa. Aku tidak. Nama lengkap ayahku Mansyur S. Meskipun, tentu saja, dia bukan penyanyi dangdut yang mereka maksud dan, sepanjang hidupku, aku tidak pernah mendengar ayahku menyanyi. Nama ayahnya Safar. Mirip nama penyanyi dangdut yang lain.
Dan, mereka tidak tahu, aku memutuskan memenggal namaku dan memilih mengenakan nama ayahku dengan alasan yang tidak lucu sama sekali.
Tentang penulis dan penyanyi
MARY Wollstonecraft Godwin Shelley adalah penulis novel Frankenstein. Namanya panjang seperti sejarah yang membentuknya.
Shelley diambil dari nama suaminya: Percy Bysshe Shelley. Ia salah seorang penyair terbaik Inggris. Queen Mab, The Revolt of Islam, dan Adonaïs adalah beberapa buku yang ia tulis. Ia senang menulis puisi panjang bertema sosial politik.
Aku suka Ozymandias, salah satu puisinya. Aku baca pertama kali — pada suatu hari ketika tidak punya uang untuk makan siang — di perpustakaan kampus.
Godwin dari Willian Godwin, ayahnya. Ia novelis dan filsuf. Salah satu karyanya yang terkenal adalah The Adventures of Caleb Williams, sering disingkat Caleb Williams, satu novel tiga volume yang menghibur sarat kritik terhadap pemerintah Inggris masa itu.
Mary Wollstonecraft adalah nama ibunya. Ia penulis dan aktivis gerakan emansipasi. Di penghujung abad ke-18, ia sudah memrotes kebrutalan masyarakat yang dikuasai laki-laki.
Dalam bukunya, Vindication of the Right of Woman, ia meyakini bahwa masyarakat demokratis akan tercapai hanya ketika perempuan diberi kesempatan memeroleh pendidikan dan pekerjaan setara dengan pria. Ia meninggal ketika anaknya berusia sepuluh hari. Goldwin berharap istrinya hidup lebih lama, maka ia jadikan nama istrinya sebagai nama anaknya.
Mary Wollstonecraft Godwin Shelley adalah ibu, ayah, dan suaminya sendiri.
Kisah rumit di belakang nama panjang penulis Frankenstein tersebut menjadi salah satu hal yang menginspirasi aku untuk mengubah namaku. Aku ingin ayahku hidup bersama diriku atau, setidaknya, di namaku.
Aan adalah nama panggilan dari nenekku. Ia memasang gigi palsu yang kurang pas beberapa tahun setelah aku lahir dan menyebabkan ia kesusahan menyebut nama kecilku. Nama kecilku: Ettang. E di nama itu dilafalkan seperti huruf E dalam kata seperti.
*
NAMA lengkapnya John R. Cash. Konon ia mulai merokok sejak berusia 12 tahun dan pernah belajar menghipnotis dirinya sendiri dari seorang penyanyi country bernama Johnny Horton. Ia kita kenal sebagai Johnny Cash, penyanyi serba bisa yang namanya ada di mana-mana sejak awal 1950-an, ketika ayah dan ibuku bahkan belum lahir.
“Sometimes I am two people,” katanya. “Johnny is the nice one. Cash causes all the trouble. They fight.”
Kata-kata Johnny Cash tersebut adalah alasan lain aku mengubah namaku. Hadirnya nama ayahku di namaku membuat separuh hidupku berisi kebencian terhadap diri sendiri.
Aku membenci ayahku.
Ada banyak lagu Johnny Cash yang selama ini sangat populer — anda bisa dengan mudah menemukannya di Youtube. Namun, lagunya yang paling aku suka jarang sekali muncul di daftar lagu-lagu terbaiknya. Aku sangat menyukai satu lagu — yang lebih pas disebut ia ucapkan atau bacakan seperti puisi daripada ia nyanyikan: A Boy Named Sue. Lirik lagu tersebut ditulis oleh seorang penyair, Shel Silverstein.
Kadang-kadang aku membayangkan diriku adalah Sue dan melakukan hal yang dia lakukan di lagu tersebut.
Tentang sejumlah lagu, buku, dan film
BERBEDA dengan ayah Sue di lagu Johnny Cash, Mansyur pergi dari rumah ketika aku berusia tujuh atau delapan tahun. Ia tidak meninggalkan apa pun untuk anaknya. Padahal, waktu kecil, aku sungguh berharap bisa menjadi seorang musisi. Ia barangkali terlalu miskin — atau sekadar tidak peduli, tidak merasa penting sama sekali — untuk meninggalkan gitar buat anak sulungnya.
Ibuku menyukai lagu-lagu Ebiet G. Ade, dan aku sungguh ingin bisa memainkan gitar untuk mengiringinya bernyanyi. Waktu kecil, dari kamarku, aku kerap mendengar ia memutar kaset Ebiet sambil ikut bersenandung. Beberapa lagunya aku hapal karena terlalu sering mendengarnya. Namun, ketika tiba pada lagu Titip Rindu Buat Ayah, ibuku pasti mengecilkan volume radionya. Hal itu membuatnya justru menjadi lagu paling melekat di ingatanku.
Aku pernah menangis di sekolah, pada saat pelajaran kesenian, karena seorang temanku menyanyikan lagu Rinto Harahap, Ayah, di depan kelas. Pada suatu hari, aku memutar lagu Luther Vandross, Dance with My Father. Puluhan kali.
Aku tidak menyukai lagu-lagu Madonna, tetapi aku bisa menyanyikan dengan cukup fasih dua di antaranya: Oh Father dan Papa Don’t Preach. Aku bisa tiba-tiba menangis karena mendengar My Father’s House, Bruce Springsteen, atau lagu Eric Clapton, My Father’s Eyes, atau ketika The Temptations menyanyikan Papa was a Rolling Stone, atau Cat’s in the Cradle-nya Harry Chapin, atau The Script lewat If You Could See Me Now dan Good Charlotte dengan Hey Dad.
Aku tidak tahu bagaimana cara menulis tentang ayahku. Aku tidak pernah betul-betul mengenalnya dan tidak pernah cukup berani bertanya kepada ibuku mengenai pria itu. Aku tidak mau melihat ibuku bersedih karena pertanyaan-pertanyaan yang aku lontarkan mengenai suaminya.
Aku berusaha menebak-nebak laki-laki macam apakah ayahku melalui film-film yang kutonton atau buku-buku yang kubaca. Aku punya daftar panjang film dan buku , terutama novel, tentang hubungan ayah dan anak yang aku baca dan tonton—beberapa aku baca dan tonton beberapa kali.
Film: Bicycle Thieves, Back to the Future, Big Fish, Mrs. Doubtfire, Kramer vs Kramer, Beginners, He Got Game, To Kill a Mockingbird, The Godfather, The Shining, Paris Texas, Ran, The Lion King, In the Name of the Father, A Perfect World, Life is Beautiful, The Royal Tenenbaums, Road to Perdition, There Will be Blood, Catch Me If You Can, East of Eden, The Road, The Pursuit of Happyness, Field of Dreams, Finding Nemo, The Sacrifice, The Tree of Life, Okuribito, dan lain-lain.
Buku: The Road (Cormac McCarthy), The Kite Runner (Khaked Hosseini), Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer), East of Eden (John Steinbeck), Les Miserables (Victor Hugo), To Kill a Mockingbird (Harper Lee), Extremely Loud and Incredibly Close (Jonathan Safran Foer), The Curious Incident of the Dog in the Night-Time (Mark Haddon), Gilead (Marilynne Robinson), The Goldfinch (Donna Tartt), Not My Father’s Son (Alan Cumming), Between the World and Me (Ta-Nehisi Coates), The Sellout (Paul Beatty), The Brothers Karamazov (Fyodor Dostoevsky), Haroun and the Sea of Stories (Salman Rushdie), dan lain-lain.
Tentang puisi-puisi
AYAHKU, seingatku, tidak pernah memeluk atau menciumku. Ia jarang sekali berada di rumah. Ia seorang tukang kayu yang sering pergi ke luar daerah mengerjakan proyek entah apa di mana selama berbulan-bulan.
Sebulan setelah adik bungsuku lahir—aku anak sulung dari tiga bersaudara, ayahku meninggalkan rumah sekali lagi dan, sejak itu, ia tidak pernah kembali. Tidak ada di antara kami yang mengetahui di mana ia berada. Bertahun-tahun kemudian beberapa kabar kabur tiba di rumah kami bahwa ia menjadi penjudi yang tidak mendapatkan apa-apa selain kekalahan demi kekalahan. Ia, konon, malu pulang ke rumah karena tidak pernah berhasil mengumpulkan uang untuk dibawa pulang. Kabar lain: ia sudah menikah lagi dengan perempuan yang entah siapa di Malaysia.
Sudah berkali-kali aku membunuh ayahku dalam puisi-puisi yang kutuliskan. Di salah satu puisi yang kutulis pada tahun-tahun pertama belajar menulis, aku memotong-motong tubuhnya. Puisi itu dimuat di koran kampus.
Namun, ia selalu hidup dan hidup lagi dalam mimpiku sebagai sosok tanpa wajah. Bagaimana cara membunuh seseorang yang bahkan wajahnya tidak kau ingat sama sekali?
Aku tidak ingat suara ayahku. Aku lupa bagaimana cara dia tertawa atau tersenyum. Bagian dari dirinya yang kuingat hanya sepasang matanya.
Ia dekat dengan adik laki-lakiku dan aku dekat dengan nenekku. Aku selalu menangkap ada hubungan yang kurang baik antara nenekku dan ayahku.
Aku sering berkelahi dengan adikku karena hal-hal sepele dan, sebagai kakak, aku harus mengalah. Ketika kami berkelahi, meskipun jelas adikku yang salah, ayahku selalu menyorotkan matanya dengan tajam kepadaku. Aku ingat, selalu ingat , tatapan mata penuh kemarahan itu, yang kerap membuatku menangis di kamar sendiri.
Suatu hari, sepulang dari pekerjaannya selama beberapa bulan entah di mana, ayahku membangun rumah kecil bertiang satu di kolong rumah kami. Setelah selesai, ia membeli beberapa ekor burung puyuh dan itulah satu-satunya hal menyenangkan yang aku ingat dari dirinya. Ia memelihara burung puyuh; membuat aku dan adikku bisa sarapan telur puyuh sebelum berangkat ke sekolah. Adikku, tentu saja, selalu mendapat bagian minimal dua kali lebih banyak daripada aku.
Aku tumbuh dengan kebencian semacam itu terhadap ayahku. Di sisi lain, aku sedih melihat ibuku harus bekerja keras menghidupi dan menyekolahkan tiga orang anak tanpa suami. Ketika kakek dan nenekku meninggal, ibuku berubah menjadi ayah, nenek, dan kakek sekaligus bagiku.
Kadang-kadang kubayangkan ibuku menikah lagi, dan, pada akhirnya, ada laki-laki yang bisa kupanggil ayah. Namun, entah kenapa, ibuku menolak semua pria yang datang melamarnya — bahkan ketika ia tahu ayahku sudah memiliki istri baru. Informasi mengenai pernikahan ayahku dengan perempuan yang tidak kukenal itu disembunyikan ibuku, termasuk kenyataan bahwa dari istri baru ayahku aku memiliki tiga orang saudara baru.
Sejak tamat Sekolah Dasar, aku memilih tidak tinggal bersama ibuku. Aku takut melihat kesedihan di matanya — meskipun, aku tahu, ia tidak pernah ingin menunjukkan kesedihan itu kepada anak-anaknya. Ibuku hemat bicara. Ia lebih percaya kekuatan mata daripada kata-kata.
Aku mencintai ibuku. Aku merasa sangat dekat, sekaligus sangat jauh, darinya — dan hal tersebut memengaruhi caraku menulis puisi. Aku selalu membayangkan jarak antara aku dan pembaca puisi-puisiku sedekat dan sejauh hubungan aku dengan ibuku, sesederhana dan serumit ikatan di antara kami.
Kami, aku dan ibuku, jarang sekali bicara mengenai hal-hal personal secara langsung dan karena itu aku lebih banyak menuliskan perasaanku tentang dirinya melalui puisi. Aku lahir ketika usia ibuku belum 20 tahun. Banyak kisah ibuku yang aku tahu justru dari orang lain. Hubungannya yang rumit dengan ayahku, misalnya. Juga kisah cintanya dengan dua pria yang suka menulis puisi sewaktu ia belum menikah dengan ayahku.
Ibuku, karena kisah cintanya dengan dua pria, juga menyukai puisi. Ia kerap memintaku membaca puisi melalui telepon atau meminta aku mengirimkan puisi yang baru kutulis lewat pesan pendek. Ibuku adalah pembaca pertama nyaris semua puisi yang kutulis. Puisi merupakan teknologi utama yang menavigasi kesederhanaan dan kerumitan hubungan kami.
Pada suatu pagi, pukul sepuluh, ibuku menelepon. Tidak biasa ia menghubungi anaknya pada jam-jam seperti itu. Ia selalu meneleponku pagi-pagi sekali selepas ia salat subuh. Hari itu, ia menelepon sambil menangis. Suaranya yang basah membawa kabar kematian ayahku. Kabar itu ia dengar dari seorang teman adikku. Sesungguhnya, kata ibuku, ayahku meninggal karena sakit setahun sebelumnya, tetapi beritanya entah kenapa baru tiba di rumahnya berbulan-bulan kemudian.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Pikiranku dipenuhi berbagai macam hal mengenai ayahku. Aku marah kepadanya. Aku ingat waktu ia berangkat dari rumah ia berjanji ingin pulang membawa celana panjang dan beberapa kaleng Milo untukku. Namun, ia mati.
Aku bersedih, karena mengetahui ibuku bersedih dan terus-menerus mencintai ayahku. Aku selalu ingat kata-kata ibuku: Kehidupan meminjam ayahmu, dan lupa mengembalikannya.
Aku ingat, aku akan selalu ingat, suara telepon genggam ibuku yang jatuh di lantai kayu rumahnya di Balikpapan, ketika ia menangis menyampaikan kabar kematian suaminya.
Ibuku sangat mencintai ayahku. Dan, meskipun itulah satu-satunya alasan yang sanggup aku pikirkan, aku tahu cinta ibuku kepada ayahku sudah cukup bagiku untuk mencintai ayahku juga.
Aku ingin menulis sesuatu tentang ayahku, tetapi aku tidak tahu harus mengatakan apa. Seminggu kemudian, aku menulis puisi yang cukup panjang mengenai ibuku dan membayangkan diriku membacanya di hadapan ayahku.
MENCATAT IBU BUAT AYAH
1.
Jika dia dengar buah-buah mangga
di belakang rumah berjatuhan,
dia selalu bertanya kepada engkau:
“Apakah mereka sudah matang
atau tak betah bertahan di dahan?”
Tapi tubuhmu sudah bertahun-tahun
memilih diam dalam selembar foto,
tubuhmu yang tak punya bayangan.
Tubuhmu yang hidup pergi menjelajah
tempat-tempat tanpa alamat.
Tapi dia tetap tersenyum dan yakin
engkau semakin jauh masuk ke dalam
jiwanya yang dipenuhi mata air.
Dia tabah seperti perigi.
2.
Dia akhirnya membeli telepon genggam
meskipun tidak tahu berapa nomormu.
Dari balik kamar selalu aku dengar
dia meminta kepadamu dengan
bibir gemetar:
“Suamiku, dekatkan sedikit bibirmu
ke telepon. Lebih dekat. Lebih dekat...”
3.
Aku pikir di bulan-bulan ini hujan
semata air yang bergerak vertikal
ke bawah dan ke atas bergantian.
Mengubah halaman dan jalan-jalan
menjadi laut yang compang-camping.
Tidak ada pelayaran mampu sampai.
Tetapi dia tidak pernah berpaling
dari keyakinannya tentang hujan:
Cahaya basah. Matanya dan matamu
yang berair. Matamu yang di hulu,
matanya yang di hilir.
4.
Tiap pagi dia selalu membangunkan aku
dan menceritakan mimpinya yang sama:
Lautan ditumbuhi bintang-bintang
dan engkau datang mengajaknya memancing
ikan berdua di langit yang baru dan lapang.
5.
Sebelum berangkat tidur aku selalu menatap
matanya, bertanya tanpa berucap.
Dia tahu jawaban untuk pertanyaan
yang berulang-ulang aku lontarkan itu.
“Setia adalah pekerjaan yang baik, Nak!
Berangkatlah…”
6.
Aku menemaninya ke pantai
dia berbaring di pasir seperti kerang
yang terdampar. Tubuhnya terbuka
dan angin mencium sebiji mutiara
dari dadanya yang berkilau-kilau.
Katanya engkau seorang penyelam
mampu bertahan di palung-palung dalam.
Itulah kenapa dia selalu datang ke pantai
menunggu kapan engkau datang menghirup
bekal menyelami hidup dari jantungnya.
7.
Dia memasak selalu dengan rambut
wangi yang tersisir dan terikat rapi.
Dia selalu ingat suatu malam sebulan
sebelum aku lahir. Engkau tumpahkan
sayur dan kemarahan karena menemukan
sehelai rambut terselip di daun kemangi.
Dia menyajikan makanan mengenakan
senyum dan pakaian berbunga-bunga.
Setiap hari. Seolah engkau akan datang
membawa dirimu yang kelaparan.
Dia berdoa lalu makan pelan sambil bicara
soal cuaca dan sesekali melirik ke televisi.
Dia selalu mengkhawatirkan kesehatan
dan keselamatanmu.
8.
Dia suka duduk di muka cermin membunuh
wajah sendiri dengan nafas yang basah
kemudian menghapusnya dengan tangan
menggantinya dengan wajah yang
lebih cantik.
Aku sering berdiri di belakangnya
sehingga dia menemukan wajahku
di hadapannya sedih dan berair.
Dia akan berbalik, tersenyum dan berkata:
“Menangis adalah upaya untuk tertawa
lebih lepas. Sudah, menangislah!”
9.
Dia melingkari setiap angka di kalender
seperti mengikat mereka agar tak tanggal.
Di akhir tahun dia menghitungnya
sebagai kekayaan. Begitu cara dia
mengajari aku menabung.
Tunggulah, katanya, akan tiba waktunya
buat dicairkan dan kita berpesta sekeluarga.
10.
Dia terus bernyanyi untuk menidurkan
mata dan nadinya—dan di dalam mimpi
aku menyaksikan malaikat-malaikat riang
terbang dan hinggap dari nada ke nada.
Aku selalu tidur mengenakan senyum
karena mengetahui dia selalu jatuh cinta
kepada engkau.
11.
Di senja saat mendengar kabar engkau mati
sepasang matanya tak berkobar bagai neraka.
Sebab mata, katanya, surga bagi kesedihan.
Sementara kesedihan adalah kebahagiaan
yang lembut dan lembab.
Ibu selalu meletakkan engkau
di surga itu, Ayah!
SEBELUM kabar kematian ayahku sampai kepadaku, aku cukup banyak menulis puisi mengenai ibuku dalam urusannya dengan ketiadaan ayahku. Berikut ini salah satunya:
EMPAT KEMUNGKINAN
TEMPAT SUAMI IBUKU BERADA
1.
Dia pergi ke negeri tetangga
dan mungkin masih berada di sana
ingin menghabiskan seluruh jatah:
usia dan ingatan tentang rumah.
Mungkin dia menunggu seseorang
atau surat datang mengajak pulang.
Apakah dia lupa surat benci yang tak
punya alamat?
Sekarang rambut Ibu yang memanjang
demi dibelai angin dan angan dibelai
mulai putih dan patah sehelai
demi sehelai.
Mengapa suaminya betah
di pelarian?
2.
Ibu percaya seseorang bisa tersesat
singgah atau sengaja sembunyi
di kartu keluarga orang lain.
Dia tua sekarang. Jalan pulang
mungkin telah terlalu panjang
bagi kaki dan keinginannya
yang semakin pendek.
Dan rindu, meski tak mampu dikalahkan,
bisa dialihkan ke tempat pulang berbeda.
3.
Apakah semua rumah sakit
bersedia menampung penderitaan?
Jika dia menderita, oleh usia tua
atau rindu, mungkinkah dia
tak melupakan letak rumah sakit
seperti yang dilakukan ingatannya
kepada rumah yang sakit
dia tinggalkan?
Dia mungkin menumpang di situ
sementara. Atau menggelimpang
di satu penjuru
penjara?
4.
Ibu meminta dia membawa rumah kami
di tubuhnya dan tak seorang pun perlu
menanti.
Sebab bahkan petualang membawa
kampungnya ke mana-mana, agar pergi
dan kembali tak perlu diterjemahkan
berbeda.
Mungkin ia telah melihat rumah
semakin menjauh dari dirinya
dan berpikir pulang ke kampung
yang lebih dekat dari tubuhnya:
tanah. Dan kelak
Ibu hanya akan berziarah
ke sajak anaknya.
DAN, ini sajak terakhir, sejauh ini, yang aku tulis mengenai ayahku—sebuah sajak yang aku bayangkan ditulis oleh ibuku.
IBUKU KEPADA SUAMINYA
jawaban menggapaimu nanti.
mengapa waktu begitu lihai
menyakiti. mengapa tidak kutemukan
jalan pulang untuk membayar hidup
yang pergi. mengapa aku selalu
mengangankan keluar dari sini.
mengapa aku terlalu menginginkan
keluar dari diriku.
aku memanggil namamu. suaraku
tebing membentur diri sendiri. aku
memanggul kata-kataku kini.
(barangkali kegelapan datang
dari nama-nama. barangkali ketidaktahuan
datang dari kata-kata.)
orang-orang bisa menuduhku gila. kau
ditanam & cuma namamu tersisa bagi ingatan
sedikit orang. tetapi aku memiliki kenangan
& aku tidak pernah gila. aku tahu apa
yang masih aku punya lengkap & apa
yang telah lenyap. aku tahu seluruh
yang telah lenyap adalah seluruh
yang masih aku punya lengkap.
aku menarikmu ke lenganku. aku
meminta kautubuhi pelukku. kau tidak
paham: kau tidak bersamaku & kau
selalu bersamaku.
selama kita hidup kita sungguh hidup.
kita membawa cinta ke dalam perih
terbakar api demi mencairkan darah
kita senantiasa.
jawaban menggapaimu nanti.
mengapa aku menggerutu sepanjang
hari & menyiapkan kopi & memandangi
kursimu & aku tidak mengerti mengapa
kursi itu kosong.
(mengapa ingatan tidak terikat
pada sesuatu yang lebih kuat?)
satu pagi aku bersedih & tidak
tahu mengapa. di lain pagi aku bahagia
menyadari aku masih memiliki pinggang
ramping & sepasang lengan & bunga-bunga
di halaman bercahaya pada malam
hari & botol-botol parfum & kehangatan
& kegesitan & janji-janji.
aku pemilik tubuhku sendiri. aku pemeluk
ketidakyakinanku sendiri. aku sendiri & aku
tidak sendiri. kehidupan mungkin tidak terlalu
menyedihkan, jika aku mencoba mencintai
diriku sedikit lebih banyak.
aku mencarimu & aku menemukan matahari
masih menghangatkan air matamu di mataku.
aku mencair. lihatlah! kita masih berbagi
hangat yang sama. kesedihan ingin melihat
wajahnya di cermin melalui mataku.
(bagaimana cara membenci kesedihan
tanpa membenci diriku?)
mengapa seluruh tempat menjadi ruang
unit gawat darurat. kematian memakan
kehidupan agar ia bisa hidup. kehidupan
memakan kehidupan hidup-hidup
agar ia bisa hidup.
di sini kini kehidupan & kematian semata
dua tempat berlibur yang sama jauhnya,
dua tempat tidur yang sama empuknya.
aku mendesakmu mendengarku
& berandai-andai kau mengenali suaraku.
aku berandai-andai kau tahu siapa aku.
sungguh susah bagimu menjawabku.
aku tahu. aku tahu. terhadap diri sendiri
aku tidak pernah yakin.
siapa aku. siapa aku—
II.
INI hari ulang tahun kelimabelas anak pertamaku, atau hari ke-5478 dalam hidupnya. Ini juga hari ketiga ia mengenakan seragam putih abu-abu—ia mulai sekolah hari minggu kemarin.
Tiga hari ini ia selalu bangun lebih pagi dari biasanya, dan sangat bersemangat berangkat ke sekolah. Aku bahagia melihatnya, tetapi, pada saat yang sama, sejujurnya ada perasaan lain dalam diriku yang belum menemukan kosakata yang mampu menampilkan warnanya. Ada semacam kekhawatiran yang asing melihatnya terlalu bersemangat, seolah ia sangat yakin ada masa depan gemilang telah menunggunya di hadapan sana.
Aku, ketika ia hendak berangkat ke sekolah, hanya memintanya agar selalu ingat untuk menikmati hari-harinya di sekolah, untuk tidak lupa merayakan hidupnya. Tidak kurang. Tidak lebih.
Jika aku merasa lebih pesimistis menghadapi masa depan daripada anakku barangkali karena jauh lebih banyak hidupku berada di masa lalu. Ada 10.778 hari memisahkan hidupku dari hidup anak pertamaku.
Meskipun begitu, tetap saja, aku selalu mencoba untuk hidup saat ini, hari ini; berusaha menikmati hari ini semampuku dengan sedikit lebih baik daripada kemarin. Aku selalu berusaha merayakan hari ini di mana segala sesuatu terjadi tanpa henti sekaligus—seperti aku menuliskan ini untuk merayakan hari ulang tahun satu-satunya anak lelakiku sambil minum kopi susu di kafe tidak jauh dari rumah. Badai waktu terus-menerus datang menghempas pohon diri manusia, pohon diriku dan pohon diri anakku, yang rapuh.
Berada di depan waktu seseorang barangkali sama dengan berada sangat jauh di belakangnya.
Namun, tentu saja, hari ini berbeda dari kemarin. Kemarin hanya memuat dirinya sendiri dan hari-hari sebelumnya, sedangkan hari ini memuat dirinya sendiri, kemarin, ditambah semua hari tanpa akhir sebelumnya.
(Selamat ulang tahun, Nak. Tidak ada cara lain untuk mengetahui berapa butir pasir di genggaman kita tanpa mencoba menghitungnya satu per satu. Mari kita rayakan setiap hari ini yang datang kepada kita!)
SAJAK di atas, yang aku bayangkan ditulis ibuku untuk suaminya, bukan hanya sajak terakhir yang aku tulis untuk ayahku. Namun, belakangan aku sadari, juga merupakan sajak terakhir yang ditulis seorang anak kepada ayahnya. Beberapa tahun terakhir ini, aku lebih banyak menulis puisi sebagai seorang ayah—seorang ayah yang menulis puisi kepada anaknya.
Aku, sejujurnya, belum bisa merumuskan apa saja yang telah terjadi dalam proses perubahan status diriku dari seorang anak menjadi seorang ayah; dari seorang anak yang tumbuh dengan perasaan benci kepada ayahnya menjadi seorang ayah yang kini memiliki empat orang anak.
Namun, bertahun-tahun lalu, bertahun-tahun sebelum aku menikah dan punya anak, ketika bercerita mengenai ayahku, ibuku berkata kepadaku: “Semua orang yang kau temui di hidupmu adalah orang baik. Ada orang yang datang kepadamu untuk mengatakan hal-hal yang harus kaulakukan. Ada orang yang menunjukkan kepadamu hal-hal yang tidak boleh kaulakukan.”
Akhir-akhir ini, aku selalu mengingat kata-kata ibuku tersebut. Aku selalu bertanya-tanya: Apa yang sudah aku pelajari dari hidupku yang tumbuh tanpa seorang ayah? Bisakah seorang anak tanpa ayah tumbuh menjadi seorang ayah yang baik bagi anak-anaknya?
Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Yang aku tahu: aku ingin belajar.
Aku berharap anak-anakku membantu dan mengajari aku menjadi seorang ayah yang baik.
SAJAK di bawah ini aku tulis beberapa bulan setelah kelahiran Daras dan Sahda, anak kembarku. Mereka akan berusia lima tahun bulan depan.
BERSAMA DARAS & SAHDA
MENUNGGU IBU PULANG DARI KANTOR
aku akan mengakui satu kesalahan, sebelum
seseorang di antara kami melukai kalian:
“laki-laki sudah terlatih sebagai laki-laki
bahkan sebelum mereka lahir. kehidupan
cuma kesempatan singkat & terlambat
untuk memperbaiki diri.”
tertawalah, anakku. atau, menangislah!
kalian telah melepaskan anak yatim abadi
dari dalam diriku. ayah kini seorang anak
berisi hanya impian & ketidaktahuan.
aku berharap kalian mau mengadopsiku—
jadi sepasang mata bagiku menjaga
kilau kelahiran baruku yang semoga;
jadi benak terbuka bagiku memandang
dunia rumah yang maha membentang;
jadi tangan lembut yang melindungi aku
dari mencelakai kalian.
terpejamlah, anakku. atau, tersenyumlah!
ibu sebentar lagi pulang — & sore ini
aku akan mulai belajar minum kopi
tanpa mengotori bajuku sendiri.
PADA malam hari, aku selalu senang mengamati bintang-bintang. Aku menyukai peristiwa itu karena tubuhku mengalami masa lalu dan masa depan secara serentak. Kakiku berdiri di masa kini, tetapi mataku mengalami masa lalu. Ketika cahaya bintang menyentuh mataku, bintang tersebut sesungguhnya sudah lama tiada.
Sebelum menikah dan memiliki anak, peristiwa mengamati bintang-bintang kerap aku pandang semata sebagai keajaiban sederhana yang indah. Namun, sekarang, di rumah kecil kami dengan kehadiran istri dan empat anak kami, persilangan waktu semacam itu adalah peristiwa yang berlangsung setiap detik; melingkupi keluarga kami sepanjang hari, dari pagi sampai malam sampai pagi lagi. Aku merasa setiap orang di rumah kami secara bersamaan tinggal di tahun-tahun berbeda. Bahkan Daras dan Sahda, anak kembar kami, hidup di waktu dan ruang mereka sendiri-sendiri.
Aku selalu merasa bahwa masa kiniku sesungguhnya adalah masa lalu anak-anakku. Aku selalu melihat setiap kegiatan anak-anakku sebagai peristiwa mengamati bintang. Tubuh dan pikiran mereka mengalami aku sebagai masa lalu. Setiap gerak-gerikku di masa kini sesungguhnya adalah masa depanku yang sesungguhnya masa lalu anak-anakku. Aku selalu memikirkan apa yang akan terjadi dengan anak-anakku sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.
Aku selalu bertanya: Apakah senyum mereka hari ini adalah masa lalu air mata mereka? Berapa banyak hal yang aku lakukan hari ini, bahkan yang aku anggap baik buat anak-anakku, merupakan penindasan bagi mereka sepuluh atau dua puluh tahun dari sekarang? Di setiap masa kini, aku melihat diriku di pikiran anak-anakku di masa depan, berjalan tertunduk menyesalkan hal-hal yang belum dan telah kulakukan. Aku selalu merasa setiap aku mencintaimu yang kuucapkan kepada mereka tidak pernah bisa lebih dari aku meminta maaf.
TULISAN yang masih akan berlanjut ini tidak lebih sebagai usaha kecilku untuk mencoba merekam dan merayakan persilangan waktu di rumah kami, persilangan waktu di hidupku. Aku ingin melihat bagaimana persilangan keabadian dan kesementaraan, tumpang tindih antar-masa, membelah dan menyatukan tubuh kami sebagai keluarga.
Catatan ini—maafkan aku—penuh dengan sentimentalitas. Bagaimanapun, sentimentalitas barangkali merupakan salah satu watak utama kefanaan.
…
Aku penasaran apakah penulisnya juga menangis ketika menulis ini, sebab aku menangis kencang ketika membacanya.
Aku membaca tulisan ini sebagai usaha memahami Ayah yang tak sempat ku lakukan di saat kami masih berbagi ruang.