Perjalanan Melawan Arus
catatan singkat selepas menonton Saya di Sini, Kau di Sana / A Tale of The Crocodile's Twin (2022) karya Taufiqurrahman Kifu
Apabila anda, seperti saya, memiliki anak kembar, salah satu pertanyaan yang akan anda kerap terima: siapa yang punya gen kembar—anda atau pasangan anda?
Saya dan pasangan awalnya tidak tahu siapa di antara kami yang memiliki gen kembar, sampai ibu saya bercerita. Ternyata keluarga saya, baik dari pihak ibu maupun ayah, cukup banyak yang lahir kembar. Beberapa sepupu saya, yang saya tidak kenal karena kami tidak pernah bertemu, lahir kembar.
(Penjelasan mengenai gen kembar sebetulnya tidak sesederhana itu. Jenis kembar monozigotik & kembar dizigotik juga berbeda penjelasannya.)
Pertanyaan lain, tentu saja, terkait dengan hubungan kompleks di antara anak kembar tersebut. Persamaan dan perbedaan mereka—atau siapa paling mirip siapa.
Salah satu nenek saya (nenek laki-laki; di Bugis, kami tidak mengenal kata kakek) konon kembar buaya. Fenomena kembar buaya dipercaya oleh banyak komunitas di berbagai belahan dunia. Di Bugis, sebelum masuknya Islam, konon setiap manusia memiliki kembaran. Bisa ular atau hewan lain, bisa air atau pohon, dan lain-lain. Namun, yang paling umum adalah kembar buaya.
Kisah nenek saya yang kembar buaya mengingatkan saya pada satu dari sedikit kegembiraan masa kecil saya. Setidaknya sekali dalam setahun, setelah panen, keluarga besar kami akan beramai-ramai menyewa mobil dan pergi ke sungai yang cukup jauh untuk mengunjungi rumah nenek buaya kami. Di sana, di bawah sebuah jembatan, kami akan mandi-mandi dan makan-makan. Piknik yang menyenangkan!
Air yang mengalir di sungai itu selalu jernih, tidak ada orang yang berani buang sampah, dan pohon-pohon di sekitarnya terjaga. Kami biasanya tidak membawa air minum dari rumah, kami minum langsung dari sungai. Sungguh, seperti sungai purba di dongeng-dongeng!
Kini, umumnya orang melihat fenomena kembar buaya sebagai mitos yang absurd belaka; kisah yang tidak layak dipercaya; perkara yang tidak rasional, tidak bisa dibuktikan secara saintifik; sesuatu yang menyimpang dari kepercayaan agama.
Saya, waktu kecil, memandangnya sebagai sesuatu yang seru. Apa yang lebih hebat daripada punya seorang nenek buaya? Namun, belakangan, lebih dari sekadar merasa sedang mengalami keseruan hidup dalam novel realisme magis, saya memikirkannya lebih jauh, misal: bagaimana kepercayaan kembar buaya membuat satu komunitas, atau setidaknya satu keluarga, punya cara yang indah dan kuat dalam merawat alam, mekanisme untuk tetap menjadi bagian dari alam.
Saya selau ingat pesan ibu saya agar mengingat nenek buaya saya setiap kali melihat dan melewati sungai, atau ketika menyeberangi hamparan air. Dan, karena cerita turun-temurun tersebut, ketika berhadapan dengan gambar buaya di televisi, komputer, atau film, mata saya akan serta-merta mengarah ke tangan buaya tersebut. Saya secara otomatis akan mencoba menghitung apakah jari-jari buaya tersebut berjumlah lima atau tidak.
Film Saya di Sini, Kau di Sana / A Tale of The Crocodile’s Twin (2022) karya Taufiqurrahman Kifu, produksi Sinekoci dan Forum Sudutpandang, diawali dengan gambar berisi pengumuman yang terpancang kokoh di pantai: DILARANG BERENANG!! ADA BUAYA. Pengumuman itu dilengkapi dengan gambar buaya dan simbol larangan berenang. Gambar pembuka disusul, secara ironis, oleh gambar-gambar warga, anak-anak sampai orang dewasa, perempuan dan laki-laki, sedang berenang bersenang-senang. Jukstaposisi tersebut, pada saat bersamaan, bisa membuka penafsiran awal yang menarik: betapa bebal dan bebas manusia atas kehendak mereka, juga bahwa di dalam tubuh pikiran manusia masih tersimpan daya kritis yang butuh dibingkai ulang.
Sebelum masuk ke gambar lain, suara narator mulai bercerita mengenai Lasa Kumbili, seorang bangsawan, yang memiliki kembar buaya bernama Yale Bonto. “Seperti saudara kembar biasanya, Lasa Kumbili dan Yale Bonto ini punya ikatan batin. Jadi dorang dua pasti punya firasat jika salah satunya dalam bahaya,” begitu kata narator membawa kita masuk ke dalam kisah kembar buaya ini. Dari sana, penonton diajak masuk ke ‘dasar laut keyakinan’ masyarakat Kaili melalui gambar penyelam dan narasi mengenai prinsip komunitas tersebut dalam menjaga harmoni dan keseimbangan hidup mereka: menjaga hubungan manusia dengan Pencipta; menjaga hubungan manusia dengan sesama manusia; menjaga hubungan manusia dengan alam—letak geografis, juga termasuk dan tidak terbatas dengan hewan. Penjelasan mengenai prinsip ketiga kemudian kita dapatkan melalui paparan dan bukti-bukti arkeologis yang ditunjukkan melalui gambar dan wawancara dengan pakar.
Saya di Sini, Kau di Sana, sebagai salah satu film yang diproduksi di Palu dalam bingkai ‘hidup dengan bencana’, sejak awal dengan jernih berbicara mengenai prinsip dasar Komunitas Kaili tersebut, terutama hubungan manusia dengan alam. Film kemudian bergerak mengajak penonton (melalui gambar bergerak, suara atmosfer dan narator, juga foto-foto dan ilustrasi) menelusuri tegangan yang terjadi dalam perebutan ruang hidup antara manusia dan buaya. Kita akan menyimak satu per satu cerita mengenai hubungan antara manusia dan alam, manusia dan buaya—terutama dalam kaitannya dengan cerita saudara kembar, Lasa Kumbili dan Yale Bonto, dan keluarga mereka.
Kata kembar dalam cerita ini bisa kita tafsirkan sebagi metafora yang paling tepat untuk menunjukkan keutuhan dan ke(tidak)terpisahan antara tubuh manusia dan tubuh alam. Pada saat bersamaan, ikatan batin yang disebutkan di awal narasi film juga mengisyaratkan lapisan lain: fisik dan metafisik, natural dan supranatural. Kita akan mendengar beberapa cerita mengenai hal ini di dalam film—termasuk kisah penyelamatan dari tsunami yang menegangkan dan mengharukan di akhir film. Kisah ibu dan anak yang diselamatkan oleh keluarga buaya mereka. Dengan begitu, judul film, Saya di Sini, Kau di Sana, juga bisa dipahami secara bersamaan dalam dua lapis pengertian di atas.
Dokumenter eksperimental berdurasi 18 menit ini, yang tidak mudah untuk diringkas dan diringkus dalam satu catatan pendek, menyuguhi kita perjalanan penuh risiko di atas air menyusuri Sungai Palu dari arah hilir menuju hulu. Perjalanan melawan arus tersebut merupakan metafora yang indah dan penting untuk membantu kita mengalami film ini sebagai sebuah praktik seni yang mengusahakan proses dekolonisasi. Dan, karenanya, tidak mengherankan, dalam perjalanan mencari hulu cerita kembar buaya ini, kita akan berjumpa dengan kisah tentara Jerman yang menembak ‘buaya raksasa’ dan karena aksi tersebut memungkinkan dia bisa menikahi putri raja, serta dampak dari perbuatan orang Eropa itu. Dalam gambar lain, meskipun sekilas, kita akan melihat gagang senjata polisi yang mengawal perjalanan para pembuat film ini dalam menelusuri cerita. Kita juga akan mendengar cerita-cerita mengenai lanskap dan kampung yang berubah, juga, tentu saja, kepercayaan masyarakat yang terkikis oleh beragam struktur dan sistem keyakinan baru yang datang dari luar.
Selepas tsunami yang meluluhlantakkan Sulawesi Tengah pada 2018, banyak pihak, termasuk komunitas anak muda yang bekerja di ruang-ruang kesenian di Palu (dan tempat-tempat lain) menyadari pentingnya praktik-praktik kesenian yang berakar pada konteks lokal—untuk kemudian dipercakapkan di hadapan konteks yang lebih luas. Film ini, salah satunya, dengan baik mengusahakan ruang terbuka yang lebih otonom di mana kita bisa belajar menelusuri dan mengenali lagi identitas satu komunitas, merebut dan membingkainya ulang, juga menggunakannya untuk menatap dan menata masa depan.
Dengan kesadaran semacam itu, kita bisa memaksimalkan potensi film (dan bentuk kesenian lain) sebagai ruang yang bergerak meninggalkan pencapaian-pencapaian level individu dan mengarahkannya untuk mengusahakan keadilan kolektif suatu komunitas.
Dan, itulah yang dilakukan Saya di Sini, Kau di Sana, film yang melakukan perjalanan melawan arus untuk membantu kita secara perlahan meluruhkan bias-bias kolonialis di tubuh pikiran kita. Film ini, dengan sadar, tidak membuat satu simpulan yang bisa menjawab pertanyaan kita. Apakah cerita kembar buaya ini nyata atau tidak? Fakta atau bukan? Bisakah film ini disebut dokumenter? Apakah label eksperimental bukan satu penyederhanaan dari sesuatu yang kompleks dan sulit dijelaskan? Mengapa film tentang kembar buaya tidak menyajikan buaya hidup di sepanjang film? Dan seterusnya. Film ini justru dengan baik telah menghamparkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan membiarkan kita untuk menggunakannya menginterogasi tubuh pikiran kita, mencoba melepaskan kita dari kotak-kotak tertentu yang telanjur mengurung kita.
Saya, untuk mengakhiri catatan ini, ingin mengutip Audre Lorde: “The master’s tools will never dismantle the master’s house.”
Lorde mengingatkan kita untuk terus-menerus mempelajari proses dekolonisasi tubuh dan perangkat-perangkat kita, sebuah perjalanan panjang melawan arus yang barangkali tidak berujung. Dengan hidup di bawah sistem yang menindas, kita secara sadar atau tidak sadar mempelajari ide-ide dan perilaku opresif yang menjunjung tinggi budaya dominan dan mereproduksi penindasan.
Proses dekolonisasi mensyaratkan kerja-kerja untuk membongkar sistem yang menindas—termasuk yang sudah kita normalisasi di tubuh pikiran kita. Di dalam kesenian, kita perlu terus-menerus mengusahakan ruang yang bisa membantu kita mewujudkan keadilan kolektif. Dengan begitu, penting untuk menginterogasi sejarah penjajahan dan kapitalisme, termasuk yang berkelindan dalam gagasan tentang seni dan modus-modus penciptaan seni.
Seni, dengan melihat hubungan dengan struktur-struktur di luar tubuhnya, bisa membantu kita mempraktikkan kegembiraan, kerentanan, dan keyakinan kita. Di sisi lain, seni juga bisa membantu kita untuk tetap kritis terhadap diri kita sendiri.
Spoiler: Perjalanan para pencari buaya kembar melawan arus dari hilir menuju hulu di film ini tidak sampai di hulu, dan barangkali tidak akan pernah tiba di hulu. Namun, itu salah satu hal paling penting dari film ini! Dan, di akhir film, anda akan merasakan suara hempasan ombak yang menutup film itu perlahan berpindah ke dalam tubuh anda.
(Saat ini, Saya di Sini, Kau di Sana bisa ditonton (gratis!) di www.rangkai.id)
Maros, 12/09/2023
Keren kak, padahal baru dibahas di MB beberapa hari yang lalu :)