Menggugat dan Mereka Ulang Imajinasi tentang Keluarga
catatan selepas membaca novel terbaru Intan Paramaditha, Malam Seribu Jahanam (GPU, 2023)
Rumah
"TIDAK ada yang lebih penting bagiku daripada rumah," kata Barbara Smith mengawali pengantarnya sebagai penyunting Home Girls: A Black Feminist Anthology (Rutgers University Press, 2000). Di bab pertama buku itu, The Blood—Yes, The Blood, dia juga menulis satu esai penuh teror yang indah berjudul Home. Fun fact: Malam Seribu Jahanam juga dibuka dengan bab darah, Segumpal Darah.
Novel Intan Paramaditha, Malam Seribu Jahanam, bisa dialami sebagai kisah tentang rumah—atau, setidaknya, begitulah saya membacanya. Perjalanan menelusuri kepingan-kepingan kisah ‘otobiografis’ yang dituturkan bergantian (Penjaga, Pengelana, Pengantin, dan Pendongeng) adalah perjalanan dari rumah ke rumah, keluar masuk rumah, menelusup ke rumah dalam rumah dalam rumah, membongkar dan menafsir ulang rumah, berada di rumah dan tidak berada di rumah, dan seterusnya. Semua kata “rumah” sebelum dan sesudah kalimat ini bisa dipahami secara bersamaan dalam pengertian yang berlapis-lapis; spasial, metaforikal, dan politikal.
Kisah rumah ini mengingatkan saya pada esai-esai Chandra Talpade Mohanty, terutama Feminist Politics: What’s Home Got to Do with It?, yang ia tulis bersama Biddy Martin. Esai itu membahas ‘narasi otobiografis’ Minnie Bruce Pratt, Identity: Skin Blood Heart. Pratt, di esai tersebut, berkata:
“Masing-masing dari kita membawa tempat-tempat tumbuh besar ini, institusi, semacam latar belakang, set panggung. Begitu sering kita memerankan masa kini dengan latar belakang masa lalu, dalam kerangka persepsi yang begitu familiar, begitu aman sehingga sangat menakutkan untuk mengambil risiko mengubahnya bahkan ketika kita tahu persepsi kita terdistorsi, terbatasi, terkurung pandangan lama itu.”
Kutipan tersebut, meskipun tidak sepenuhnya, cukup menggambarkan Malam Seribu Jahanam.
Intan Paramaditha, melalui sudut pandang yang berganti-ganti (pilihan yang tepat sekali!), membawa kita mengalami dunia yang kompleks, berlapis-lapis, multi-dimensi; “dunia lingkaran yang tumpang tindih”. Kita akan mengikuti tokoh-tokohnya berjalan bersama masa lalu mereka yang terus ditantang, di-re-evaluasi, dan direka ulang; mengikuti perkembangan mereka yang terus diperluas (berkelit dari jebakan, penyempitan, dikotomi, dan batas-batas), terus mencari hubungan-hubungan dan persilangan-persilangan. Arsitektur cerita seperti ini efektif menghasilkan pertanyaan demi pertanyaan, perubahan demi perubahan; menghindarkan cerita sebagai sesuatu yang utuh, tunggal, dan final; mengalami sistem sebagai sistem-sistem.
Para narator bergantian menceritakan potongan-potongan kecil kebenaran versi mereka. Tetapi, seperti kata salah satu dari narator kita: tidak ada satu cerita; semua terikat, seperti kawat. Seolah menggemakan Audre Lorde, ”There’s no such thing as a single struggle, because we don’t live single-issue lives.”
Atau, sekali lagi, mengutip Pratt:
“Kita masing-masing hanya memiliki sepotong kebenaran. Jadi beginilah: Saya meletakkannya untuk Anda untuk melihat di mana saja fragmen kita cocok, apakah potongan kita, bersama-sama, membuat potongan kebenaran yang lebih besar yang dapat menjadi bagian dari peta yang kita buat bersama untuk menunjukkan jalan kepada kita untuk sampai ke dunia yang dirindukan.”
Sepanjang “jalan tak berujung” Malam Seribu Jahanam, para tokoh akan menemukan potongan demi potongan kebenaran satu sama lain. Darinya masing-masing mereka melihat perbedaan-perbedaan dan kekhususan-kekhususan di antara mereka, dan menemukan hubungan-hubungan dan persilangan-persilangannya. Inilah yang disebut Mohanty sebagai “perbedaan bersama”, common differences. Dengan mengetahui perbedaan dan kekhasan, mereka dapat melihat dengan lebih baik hubungan dan persamaan. Alih-alih sebagai jawaban, kondisi itu justru adalah pertanyaan yang menantang: Bagaimana perbedaan memungkinkan mereka menjelaskan hubungan dan menyeberangi batas-batas dengan lebih baik?
Namun, pertanyaan itu juga memungkinkan lahirnya imajinasi bersama untuk menciptakan koalisi dan solidaritas lintas batas; memungkinkan lahirnya visi mengenai rumah masa depan yang dirindukan.
Keluarga
“Revolusi selalu dimulai oleh saudara tiri buruk rupa.” Begitu kalimat pertama Malam Seribu Jahanam. Kalimat itu diulang beberapa kali di beberapa bagian kisah. Kalimat tersebut mengandung banyak pertanyaan dan terror; memendam dendam dan amarah; mengundang sesal dan malu; menyembunyikan hantu-hantu; menunjukkan ketidakadilan dan penyingkiran; menyimpan kisah keluarga yang retak.
Malam Seribu Jahanam, tentu saja, dengan mudah juga bisa dibaca sebagai kisah tentang keluarga—dan memang begitulah adanya. Perlu dicatat, sebagaimana kata “rumah”, kata “keluarga” juga memiliki makna berlapis-lapis. Kisah keluarga ini bergerak dari sebuah ledakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Si Bungsu, Putri yang paling disayang keluarga. Saya tidak menyebut ledakan tersebut sebagai awal kisah keluarga ini, karena dalam perjalanannya, pembaca (dan para narator—yang juga bekerja sebagai pembaca) akan terus bertanya yang mana awal sesungguhnya.
Kisah keluarga ini secara ulang alik berpindah dari pengalaman-pengalaman yang personal para tokoh ke penyelesaian rumit dalam hubungan satu sama lain, berkelanjutan secara historis dan bekerja untuk menyingkap pertaruhan politik yang tersembunyi di lekuk keloknya. Pengorganisasian teks semacam ini memungkinkan hadirnya kekonkretan secara spesifik di satu lapisan, dan keluwesan gerak untuk narasi politik di lapisan lain. Pengalaman dan sejarah personal bukan hanya membuat kisah keluarga ini menjadi terasa lebih dekat dan jelas, melainkan juga berfungsi sebagai jangkar bagi narasi-narasi besar yang rentan jatuh ke dalam jebakan generalisasi dan dikotomi serampangan (laki-laki/perempuan, pelaku/korban, protagonis/antagonis, publik/domestik, barat/timur, putih/berwarna, dll) yang justru ingin dihindari kisah ini—dan berhasil dengan baik dilakukan.
Secara bersamaan, kisah keluarga ini juga bergerak ulang alik dari narasi keluarga penuh pandangan lama (genealogi heteronormatif, ketimpangan kelas, kapitalistik, konservatif, dll) ke keluarga yang menggugat dan menafsir ulang imajinasi tentang keluarga. Kisah bergerak dari keluarga yang terlilit sengkarut dendam, amarah, aib, penyesalan, penyingkiran, dan ketidakadilan ke keluarga yang ditata ulang dengan solidaritas dan cinta (kata ini jarang disebutkan, tetapi sangat terasa—seperti ada embusan napas bell hooks memenuhi beberapa bagian novel); keluarga yang mengusahakan keluarga masa depan yang lebih adil, “yang saling menjaga, mengamankan, dan mendukung.”
Pengasuhan
BAGAIMANA para tokoh merubuhkan pagar-pagar, mengimajinasikan, dan bekerja untuk menciptakan rumah dan keluarga yang lebih adil di masa depan—dunia penuh cinta dan solidaritas tanpa batas? Malam Seribu Jahanam menunjukkan, pada akhirnya (atau mungkin pada awalnya), para tokoh mau saling mengenali dan belajar dari satu sama lain—atau Maria Lugones menyebutnya “learning from other resisters”; Intan dengan sangat baik pernah menulis perihal ini.
Salah satu bagian paling menyentuh dari novel ini adalah kisah tentang pengasuhan. Malam Seribu Jahanam juga bisa dialami sebagai kisah pengasuhan. Bagian ini mengingatkan saya pada buku yang disunting Alexis Pauline Gumbs, China Martens, dan Mai’a Williams, Revolutionary Mothering: Love on the Front Lines (PM Press, 2016).
Di buku itu, Alexis Pauline Gumbs menulis:
“Kami membuat klaim yang seharusnya jelas tetapi sering diabaikan. Untuk secara kolektif mengetahui bagaimana mempertahankan dan mendukung spesies kita yang berevolusi, untuk berpartisipasi dan menuntut masyarakat di mana orang saling membantu untuk menciptakan satu sama lain daripada terlalu sering menghancurkan satu sama lain, kita perlu melihat praktik menciptakan, mengasuh, meneguhkan, dan menopang kehidupan yang kita sebut mothering.”
Namun, dari mana ‘khayalan’ untuk mewujudkan keluarga yang saling menjaga, mengamankan, dan mendukung dimulai? Malam Seribu Jahanam berkisah perihal pengasuhan yang dilakukan oleh transpuan, Mama Cindy dan Cek Rosalinda. Mengapa kisah ini bisa dibaca sebagai kisah revolutionary mothering? Jangkar pengalaman dan analitik dalam kehidupan komunitas perempuan paling terpinggirkan—dalam kisah keluarga ini diwakili oleh Rosalinda; “waria dunia ketiga”; bujangdara—memberikan paradigma yang paling inklusif untuk perpikir tentang keadilan sosial.
Postscript
PEMBACA sama sekali tidak akan kehilangan Intan Paramaditha yang pernah kita temukan di karya-karya sebelumnya. Kita masih akan bertemu dengan kelihaian Intan membongkar dan menafsir ulang dongeng-dongeng lama, hantu-hantu, kisah-kisah horor dan gotik—dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an (judul novel ini secara cerdas dan imajinatif datang dari malam yang paling dinantikan pada bulan Ramadan) sampai King Lear, dari H.P. Lovecraft hingga Edgar Allan Poe, dari nenek sihir, kucing hitam, hingga kuntilanak, dan seterusnya. Dalam kasus ini, jika bisa disebutkan, salah satu yang barangkali berbeda adalah di Malam Seribu Jahanam Intan menghadirkan tegangan, ketakutan, teror bukan hanya melalui hal-hal yang tidak diketahui di luar diri para tokoh, tetapi juga—dan terutama—melalui hal-hal yang tidak para tokoh ketahui yang ada dalam diri mereka.
Kita juga bisa membaca novel ini dengan segala kekayaan teks yang dikandungnya sebagai cerita tentang serangkai motif bercerita. Pembaca akan bertemu permainan para penutur cerita yang membuat kita sadar bahwa ada beragam hal yang bisa mendorong orang bercerita. Ada orang bercerita untuk berkelit dari maut, ada yang bercerita untuk bercakap-cakap dengan maut; ada orang bercerita untuk melupakan kemarahan, ada orang bercerita untuk meluapkan kemarahan; ada orang yang bercerita untuk mengungkapkan dirinya, ada orang bercerita untuk menyembunyikan dirinya; dan lain-lain.
Beberapa catatan:
Judul tulisan ini adalah potongan kalimat pertama Manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan: Tentang Keluarga. Beberapa kalimat lain di tulisan ini juga berhutang pada sumber yang sama.
Saya pertama kali membaca esai Feminist Politics: What’s Home Got to Do with It? di buku Feminism Redux: An Anthology of Literary Theory and Criticism (Rutgers University Press, 2009) yang disunting Robyn Warhol dan Diane Price Herndl. Esai yang sama tercantum di buku Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Duke University Press, 2003), dan tidak menggunakan Feminist Politics di judulnya. Buku Mohanty diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Astrid Reza, Eliza Vitri Handayani, Terenia Puspita dan diterbitkan dengan judul Feminisme Tanpa Batas: Dekolonisasi Teori dan Praktik Solidaritas (Marjin Kiri, 2022). Tulisan ini banyak sekali berhutang pada esai-esai Mohanty.
Esai Minnie Bruce Pratt, Identity: Skin Blood Heart, bisa dibaca di bukuYours In Struggle: Three Feminist Perspectives on Anti-Semitism and Racisms (Firebrand Books, 1984). Selain esai Pratt, dua esai lainnya masing-masing ditulis oleh Barbara Smith dan Elly Bulkin