3.
PENULIS sastra nyaris mustahil bisa menghindarkan diri dari pertanyaan ini: Karya siapa yang memengaruhimu? Pertanyaan tersebut bisa datang dari siapa pun, termasuk dan barangkali terutama dari diri penulis sendiri. Meskipun sudah sering menghadapi pertanyaan serupa, aku selalu menemukan diriku tidak benar-benar bisa mengatasinya dengan baik. Jawabanku tidak pernah cukup, selalu keliru, dan kerap memancarkan keangkuhan khas penulis.
Pertanyaan pengaruh adalah undangan untuk menghadiri pameran nama-nama besar dan karya-karya kanon dan asing; ajakan untuk membuka ruang kompetisi yang sebetulnya tidak betul-betul dibutuhkan. Pertanyaan pengaruh juga kerap menuntut jawaban perihal karya-karya pendahulu yang memenjarakan seorang penulis yang datang belakangan, karya siapa yang darinya seorang penulis bersikeras ingin melepaskan diri, atau karya-karya tertentu yang digunakan pihak-pihak tertentu untuk mengukur karya-karya tertentu yang lain.
Raymond Carver, dalam satu esainya, menjawab pertanyaan perihal pengaruh dengan cara yang sangat berbeda. “Aku tidak bisa berbicara tentang buku atau penulis yang barangkali memengaruhiku. Aku tidak tahu tentang pengaruh sastra. Namun, aku memiliki beberapa gagasan tentang jenis pengaruh lain,” tulisanya. Dia mengatakan fakta bahwa dia memiliki dua orang anak mendasari tulisannya lebih dari apa pun. Dia berbicara jujur, dengan nada pahit, tentang tekanan hidup yang dia alami, tentang kecemasan tidak punya uang, ruang, dan waktu untuk dirinya menulis—dan untuk keluarganya.
“Aku sedang bicara tentang pengaruh nyata. Aku bicara tentang bulan dan air pasang,” kata Carver. Dia menentang tabu tempat bersembunyi kerapuhan, menantang ketinggian di mana berkibar kemunafikan, dan menjungkirbalikkan pertanyaan tentang pengaruh sastra. “Persetan dengan kanon. Aku dipengaruhi oleh keharusan membayar tagihan, untuk diriku sendiri dan untuk keluargaku."
Dia menulis Fires (1981), esai itu, ketika dia sudah sukses, tetapi bukti dari pengakuannya bisa kita telusuri dengan mudah melalui karya-karyanya. Maksudku, pernahkah anda bertanya mengapa Raymond Carver hanya dikenal sebagai penulis cerita pendek dan puisi? Mengapa dia tidak menulis karya yang lebih panjang?
Pertanyaan tersebut bisa kita telusuri kaitannya dengan fakta banyaknya penulis Indonesia yang sekarang kita kenal memulai karir mereka dengan menulis puisi dan cerita pendek di koran—atau dari memenangkan sayembara.
Membicarakan pengaruh, dalam seni kepenulisan sastra, selalu terikat pandangan romantis—sebagai percakapan tentang bakat dan kecakapan kreatif penulis, atau tentang tradisi sastra, perkara hidup dan berkembangnya sastra dari satu generasi penulis ke generasi penulis berikutnya—tentang yang bertahan dan yang disingkirkan. Jeritan tengah malam token listrik, utang di kedai dekat rumah, uang sekolah anak, juga honor pemuatan tulisan di media dan royalti penjualan buku yang tidak pernah cukup dipakai menutupi hal-hal tersebut, bagi banyak penulis, sungguh tidak elok dan tidak bijak dimasukkan ke dalam percakapan semacam itu. Bagi banyak orang: sastra adalah sastra, uang adalah uang. Meletakkan keduanya dalam satu kalimat adalah mengalirkan limbah busuk dan beracun ke sungai yang bening dan agung.
Penulis yang berbicara tentang uang kerap dipandang sebagai seseorang yang mencopot semua pakaiannya di depan umum, menelanjangi dan meruntuhkan harga dirinya, berbelok dari jalan suci kepenulisan dan tidak tulus berkarya. Akibatnya: banyak penulis enggan dan sungkan membahas honor, misalnya, ketika diminta bicara di satu forum. Namun, kita tahu, di tongkrongan penulis, perkara dibayar atau tidak, menerima honor layak atau tidak, sering menjadi bahan percakapan. Penulis tidak ingin dibayar ketika bicara di satu acara adalah satu hal—dan, tentu saja, sebagai pilihan personal, tidak masalah. Menormalisasi upah tidak layak bagi penulis adalah hal lain.
2.
MODAL apa yang dibutuhkan untuk bisa menjadi penulis sastra di Indonesia? 20% imajinasi dan 80% arogansi.
Jika ingin hidup sebagai penulis, anda butuh keyakinan yang sombong, narsistik, dan delusional bahwa ada beberapa aturan yang tidak berlaku di hidupmu. Anda sedang memasuki dunia seni, dunia kebudayaan, dunia dengan udara kebebasan berembus dari seluruh penjuru. Pendapatan stabil yang dapat diandalkan? Oh, jangan sebut, jangan sebut, itu kotoran yang akan melumuri wajah senimanmu yang suci! Satu-satunya tujuan adalah menciptakan mahakarya: novel yang indah, berani, orisinal, dan melampaui zaman; buku sajak penuh kebaruan yang mendobrak lorong buntu perpuisian Indonesia; karya yang senantiasa mampu menentukan nasibnya sendiri—misalnya: mendulang pujian dari kritikus dan para penjaga gerbang istana, atau memenangkan penghargaan-penghargaan bergensi. Anda tidak boleh terganggu oleh logika dasar ekonomi dan realitas di sekelilingnya. Tugasmu sebagai penulis adalah menulis dan cuma menulis—dan sesekali berantem dengan sesama penulis. Berkaryalah sebaik-baiknya! Jangan memikirkan uang!
Dibutuhkan keangkuhan untuk berpikir dan berkata, “Inilah jalan pedangku. Aku ingin menulis saja. Menulis dan menulis dan menulis. Menerbitkan karya sastra dan mendapatkan uang darinya adalah hal lain.” Dengan kata lain, anda butuh kerendahan hati untuk bisa mengakui bahwa menjadi seorang penulis sastra saat ini adalah menjadi sebatang sekrup kecil di badan mesin raksasa kapitalisme. Ketegangan antara arogansi dan kerendahan hati seperti itulah yang membikin kebanyakan orang berapi-api menjadi penulis sastra pada usia dua puluh empat dan bukan pada usia empat puluh dua.
Dan, disadari atau tidak, itulah salah satu hulu masalah kerentanan hidup para penulis di Indonesia. Sangat tipis batas antara mati-matian memperjuangkan martabat sastra Indonesia dan melanggengkan pemiskinan para penulis. Selama kita belum menerima kenyataan bahwa penulis juga bekerja di bawah sistem kapitalisme yang culas dan kejam, dan terus mengagung-agungkan diri sebagai sekelompok elit-bukan-buruh, terus menormalisasi bahwa menulis adalah menempuh jalan sunyi kenabian, ketidakadilan di dunia kepenulisan dan perbukuan di Indonesia akan terus terjadi.
Semakin kita menjauhkan diri dari melihat kapitalisme sebagai masalah, semakin kita panik mencari-cari jawaban atas segala rupa persoalan yang diakibatkannya. Semakin kita pusing perputar-putar, berulang-ulang memuntahkan semua isi perut di berbagai diskusi dan perdebatan tentang mampusnya kritik, kurangnya kualitas dan keringnya imajinasi penulis muda, dunia perbukuan yang diskriminatif dan cis-hetero-patriarkis dan jawakartasentris, dan lain-lain, dan seterusnya, seolah semua persoalan panjang umur tersebut hidup berkembang di satu pulau khusus, sementara kerentanan hidup para penulis terasing di pulau yang lain, dan membentang laut dalam berombak ganas di antara keduanya yang tidak mungkin diseberangi.
Kita mesti mulai lebih sering, tanpa perlu melibatkan kepura-puraan, memasukkan uang dalam percakapan mengenai penulis dan seni kepenulisan. Aku tidak sedang berseru agar kita berlomba-lomba menerbitkan karya semata-mata demi uang. Aku tidak sedang mengatakan bahwa laris tidaknya satu buku adalah ukuran baik buruknya buku tersebut. Seni barangkali memang tidak kompetitif, tetapi hal-hal di sekitarnya, media dan penerbitan, lembaga-lembaga kesenian, proses mendapatkan hibah, uang, dan ketenaran, sering kali bertentangan dengan gagasan itu. Bahkan jika mampu melepaskan diri dari semua hal tersebut, seorang penulis tampaknya didesain untuk bersaingan dengan dirinya sendiri.
Uang tidak nyata. Fiksi. Narasi. Namun, uang mampu melakukan banyak hal yang tidak sanggup dilakukan oleh yang lain. Dalam pengertian itu, pada tingkat kuasa, uang memiliki semacam realitas yang lebih besar. Teknologi dan narasi yang kita sebut uang mengubah sejumlah hal terbatas yang bisa dimiliki seseorang menjadi sejumlah hal dan kemungkinan yang tampaknya tak terbatas. Uang sanggup mengubah kemungkinan ketidakadilan yang terbatas menjadi kemungkinan ketidakadilan yang tidak terbatas.
1.
PADA awal usia dua puluhan, ketika di dadaku berkobar-kobar api calon penulis, di rumah yang dikontrak sejumlah teman di mana aku menumpang hidup, setiap malam aku berlatih menulis puisi. Selama bertahun-tahun aku menulis puisi buruk dan menulis puisi buruk dan menulis puisi buruk dengan harapan tiba pada suatu hari ketika aku akhirnya bisa menulis sesuatu yang membuat satu atau dua orang terkesan, mengakui kemampuanku, dan aku akhirnya memiliki keberanian mengirimkannya ke redaktur koran minggu yang terhormat. Setiap hari, aku meletakkan puisi-puisi yang selesai kutulis di meja ruang tengah agar teman-temanku membaca dan memujinya. Namun, pada suatu pagi, seorang teman, mengangkat tumpukan kertas bekas berisi puisi-puisiku sebelum menjatuhkannya ke lantai. Dia mengatakan, “Makan itu puisi!”
Dia ingin aku berhenti menulis puisi, dan mulai ‘mencari kehidupan’. Dia bukan peramal, tetapi dia melihat tidak ada masa depan di atas lembaran-lembaran berisi sajak-sajak buruk itu.
Bertahun-tahun sebelum peristiwa menyedihkan itu, aku mengatakan keinginanku menjadi penulis kepada ibuku. “Silakan, Nak. Hidupmu adalah hidupmu. Tetapi—” kata ibuku. Dia cukup lama berhenti di sana—atau barangkali singkat saja, tetapi aku tidak sabar ingin mendengarkan kata-kata berikutnya—sebelum melanjutkan, “bersiaplah hidup miskin.” Aku berpikir: “Penulis, miskin, penulis miskin, terdengar seperti kisah hebat para penulis di film-film.”
Aku mengabaikan kata-kata teman dan ibuku, karena di dalam diriku sudah dalam tertanam gagasan yang benihnya datang entah dari mana: “Menulis saja! Jangan mencemaskan uang!” Namun, itu hanya satu kebodohan di antara begitu banyak kebodohanku. Kita tidak perlu menjadi penulis untuk paham bahwa kita tidak bisa tidak mencemaskan uang apabila kita tidak lahir dari keluarga yang tidak perlu lagi mencemaskan uang.
Aku sudah menerbitkan beberapa buku, dan, dibandingkan dengan banyak penulis lain, aku beruntung. Buku-bukuku dibaca cukup luas, menerima ulasan memadai, menghasilkan royalti lumayan, dan beberapa di antaranya memenangkan perhargaan. Buku-buku itu telah membuka sejumlah jalan bagiku bertemu dengan sejumlah keberuntungan lain. Singkatnya: karya-karya itu, meskipun tidak hebat menurut standar-standar tertentu, telah meletakkan penulisnya di tempat yang cukup menyenangkan.
Aku sudah menjalani lekuk kelok dunia kepenulisan tidak kurang dari 20 tahun dan aku tidak pernah merasa lebih tersesat daripada sekarang. Kadang-kadang aku meromantisasi kata tersesat itu; menghibur diri dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang seolah-olah indah, filosofis, dan agung—bahwa para penulis adalah orang-orang yang mempertanyakan perkara-perkara yang dihindari orang-orang yang ingin hidup bahagia, adalah orang-orang yang memilih tersesat untuk menunjukkan jalan terang bagi orang lain. Namun, kali ini, ketersesatan itu adalah ketersesatan—adalah ketersesatan dalam pengertian yang membingungkan dan menyebalkan.
Aku melihat banyak teman-teman penulisku harus menerima kenyataan pahit dibayar lima puluh ribu untuk satu tulisan yang mereka kerjakan berminggu-minggu. Aku melihat teman-teman penulisku tidak bisa membayar kamar kontrakan. Aku melihat teman-teman penulisku dipecat dari tempat kerja mereka tanpa pesangon. Aku melihat teman-teman penulisku menderita bermacam-macam penyakit tanpa ada jaminan kesehatan. Aku melihat teman-teman penulisku terpaksa berhenti menulis dan mencari pekerjaan lain, karena anak-anak mereka, tentu saja, tidak bisa makan puisi. Aku melihat teman-temanku kesulitan menemukan penerbit untuk tumpukan karya mereka dan aku melihat sejumlah penerbit meminta naskahku bahkan ketika aku tidak bisa menulis. Aku melihat segelintir penulis bisa mendapatkan royalti melimpah dari satu buku mereka dan melihat banyak penulis yang kesulitan membeli satu buku yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan karya mereka.
(Aku menulis catatan ini di antara waktu yang aku, bersama beberapa penulis lain, gunakan membaca formulir pengajuan bantuan dari banyak penulis dan pegiat perbukuan yang masuk ke #TemanBantuTeman, inisiatif yang dibikin sejumlah penulis selama Pandemi COVID-19. Rentannya hidup para pekerja seni, termasuk seni kepenulisan dan perbukuan, bukan hanya terjadi selama pandemi. Tentu saja. Pandemi hanya membantu kita melihat lebih jelas beragam bentuk kerentanan itu—dan memperparahnya.)
Transparansi adalah hal yang mengerikan bagi banyak orang, bukan hanya bagi penulis, dan tentu ada beragam alasan di belakangannya. Namun, kita harus terus membicarakan topik ini, meskipun harus menerbitkan kegugupan dan rasa tidak nyaman. Bagaimanapun, dibutuhkan transparansi untuk mengubah sesuatu. Ada banyak hambatan akses bagi penulis yang berasal dari latar belakang berpenghasilan rendah, atau bagi para penulis yang harus menghadapi beragam jenis prasangka dan penyingkiran dalam hidup mereka. Apabila kita ingin hal-hal seperti itu berubah, kita harus mulai jujur tentang bagaimana bisnis kata-kata bekerja.
4.
TEGANGAN antara gagasan kreativitas sebagai dunia penciptaan murni dan imajinasi di satu sisi dan kegesitan mesin ekonomi mengubah kreativitas sebagai produksi dan komoditas di sisi yang lain telah membuat percakapan mengenai uang sangat kompleks. Pandangan di sisi pertama menuntut terus lahirnya orang-orang brilian yang menghasilkan karya berkualitas—dan, barangkali, gamang di hadapan tidak ada yang baru di bawah matahari. Pandangan di sisi seberangnya mendapat tantangan dalam menyiasati pasar—apa pun yang dimaksud pasar. Namun, persoalan kita tidak pernah lagi sesederhana mengatakan ya atau tidak kepada salah satunya.
Mengapa membicarakan uang penting dalam situasi ini? Salah satunya: dengan melihat dari mana datangnya uang, kita bisa mencari tahu seberapa banyak orang dan siapa saja yang mendapat keuntungan. Kita juga bisa mulai berpikir tentang seberapa banyak suara penting yang tidak mendapat dukungan dari salah satu mesin ekonomi. Siapa yang memiliki kuasa. Siapa yang terempas dan yang putus. Di dunia seni kepenulisan, mesin ekonomi tidak bisa selalu dipahami sebagai industri media/penerbitan. Mesin ekonomi bisa berwujud institusi kesenian yang dibiayai dana publik, sayembara kepenulisan, hibah, festival dan penghargaan sastra, atau profesi lain yang ditekuni penulis agar bisa tetap menulis.
Mengetahui dari mana datangnya uang juga berarti membuka rute untuk mengetahui penulis semacam apa yang diciptakan oleh sistem yang melingkupinya. Para penulis sering kali lebih nyaman dan aman membicarakan diri mereka sebagai sekelompok orang yang memproduksi sesuatu. Para penulis kerap tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa pada saat yang sama mereka merupakan sekelompok orang yang sesungguhnya juga diproduksi oleh sesuatu.
Leslie Jamison dalam buku Scratch: Writers, Money, and the Arts of Making a Living (Simon & Schuster, 2017) mengatakan bahwa menanyakan dari mana uang berasal, dan jenis budaya sastra dan komunitas apa yang dihasilkannya, juga berarti bertanya: Bagaimana pendanaan memengaruhi karya yang kita buat? “Aku tertarik tidak hanya pada pertanyaan itu, tetapi juga pada ketidaknyamanan yang aku rasakan—pada diriku sendiri, pada orang lain, ketidaknyamanan tentang hubungan antara kreativitas dan kolektivitas dan modal: cara-cara di mana kita bukan sekadar produsen tetapi juga diproduksi,” tulisnya.
5.
DUNIA seni, termasuk seni kepenulisan, dari pandangan romantis senantiasa menghendaki hadirnya karya-karya orisinal dan baru; lahirnya individu-individu seniman yang kreatif dengan karakter dan suara berbeda. Namun, membicarakan uang adalah membicarakan persoalan struktural. Dan, kita tahu, suara individu tidak pernah cukup memiliki kekuatan di hadapan persoalan struktural.
Aku bekerja di bawah sistem yang tidak adil dan aku ingin situasinya berubah. Aku bisa menjadi kita, jika dan hanya jika banyak aku yang menginginkannya.
Makassar, Agustus 2021
*catatan ini pernah dimuat di kumparanplus dengan judul berbeda.