MALAM ITU & HARI-HARI SETELAHNYA
barangkali
untuk bisa menghadapi
kenyataan, pertama-tama
aku harus menyadari
seluruh yang terjadi
sebelum ini, bukan
kenyataan.
*
pada hari-hari biasa, aku
yang memegang cangkir.
tetapi ketika kabar kematian
kau tiba, tiba-tiba cangkir
memegang aku,
tidak membiarkan lantai
memecahkan pecahan-
pecahan diriku
*
alangkah pandai
waktu menyimpan
segala yang belum
*
detik ketika kau lepas
dari detak jantungmu,
aku sangat jauh
dari detak jantungku.
*
bahkan ketiadaan mencintaimu
*
setiap kata
kini adalah langit
matahari & cahayanya,
ketinggian & birunya,
awan & tidak teraturnya
apakah hanya bagian
dari mimpi?
*
kau dengar,
orang-orang bertanya,
“bagaimana aku akan
membawa ketanpaan kau
di masa depan?”
*
(aku menulis puisi
penuh lubang ini
& berharap
kau menambahkan
sesuatu yang bisa
berkedip
atau tersenyum
kembali kepadaku)
*
sekarang aku tahu
keheningan sesaat itu
berarti kehidupan
meletakkan gunung
yang lebih besar dari segala
rahasia—mustahil didaki,
bahkan oleh kaki
kata yang paling kuat—
di leherku
*
ada laut, luas
& dalam, yang tidak
sanggup aku seberangi
bergemuruh
di jantung tanda
titik di akhir puisi
yang tidak sanggup
aku selesaikan
ini
KEMATIAN SEORANG SAHABAT
kami melingkar di bawah matahari,
kau & ketidakhadiranmu pusatnya;
kami menanam pohon di tubuhmu
yang perlahan-lahan menjadi bumi,
satu-satunya bumi, & menyiramnya
dengan air paling bening tubuh kami.
alangkah ganjil rasanya berterima
kasih atas kematianmu, tetapi itulah
yang kami lakukan. pertama-tama,
karena saat hidup kita berbagi tawa.
berikutnya, waktu sungguh cuma
sedetik & hidup tidak dapat diakali,
tetapi kau hadiahi kami kesempatan
yang betapa lapang untuk bersedih
sepenuh diri.