Daras dan Sahda, anak kembar kami, lahir pada Agustus 2018, dan terpaksa menjalani tahun-tahun awal pertumbuhan mereka di tengah krisis Pandemi COVID-19. Fakta itu membuatku mengalami beragam kecemasan. Sebagai orang tua, setiap hari, di tengah kabar duka dan kehilangan yang memenuhi udara, aku merasa harus bekerja keras membangun surga di jantung neraka.
Krisis Pandemi COVID-19 adalah krisis multidimensi. Selain persoalan kesehatan dan ekonomi, secara bersamaan kita berada di bawah tekanan sistem dan penindasan struktural, inkompetensi pemerintah, hingga krisis iklim. Di tengah semua itu, tampaknya tidak banyak yang mampu kita lakukan untuk bertahan menghadapinya.
Transformasi besar yang terjadi terhadap keberlanjutan planet kita akibat krisis ekologi memang menimbulkan beragam efek psikologis bagi manusia. Para ahli menggunakan istilah ecological grief untuk merujuk kepada kehilangan dan trauma akibat krisis ekologi.
Ada kesedihan dan trauma karena “bencana alam” menghantam kita atau orang-orang terdekat dan komunitas kita. Ada juga kesedihan karena mengetahui bahwa segala sesuatu berubah, dan perubahan tersebut bisa menyebabkan kehancuran. Bukan hanya kehancuran karena hilangnya keragaman spesies mahluk hidup, kerusakan ekosistem, dan perubahan lanskap, melainkan juga kerugian akibat hilangnya identitas dan budaya.
Selain kesedihan karena telah atau sedang mengalami peristiwa kehilangan, ada jenis kesedihan lain yang dikenal sebagai anticipatory grief, kesedihan akibat kehilangan dan trauma di masa depan, kehilangan dan trauma akibat peristiwa yang belum terjadi. Glenn A. Albrecht, dalam kaitannya dengan krisis ekologi, memperkenalkan kata baru mengenai kondisi mental semacam ini: imminania. Proyek visual ini akan membicarakan imminania yang kualami sebagai orang tua karena membayangkan kehidupan Daras dan Sahda di masa depan. Mengetahui bahwa mereka yang paling aku cintai akan hidup dan tumbuh di tengah kekacauan akibat krisis ekologi besar-besaran adalah menjalani dan menanggung hari-hari penuh kecemasan, kesedihan, dan trauma.
Aku berharap proyek ini bisa memberi kontribusi terhadap percakapan perihal hubungan antara krisis iklim, kesehatan mental, dan pengasuhan. Menghadapi kesedihan dan trauma akibat krisis ekologi bukan perkara mudah, namun aku percaya ada pilihan lain selain mengabaikan atau menanggungnya. Kita bisa mengupayakan agar kesedihan dan trauma menjadi bagian dari kesadaran kita untuk mempersiapkan dan membenahi masa depan bagi anak-anak kita.