“CARA paling buruk untuk mendapatkan ide cerita yang baik,” kata temanku yang akan kusebut Ferriss di sepanjang cerita pendek ini, “adalah ketinggalan pesawat.”
Ferris mengatakan teori itu, dua tahun lalu, saat aku menjemputnya di Bandara Sultan Hasanuddin, lima setengah jam selepas mengantarnya ke tempat yang sama. Ia tidur di ruang tunggu (semoga ia tidak memasukkan kedua tangannya ke celana, ke selangkangannya; aku tahu betul kebiasaannya itu) saat pesawat yang sedianya ia tumpangi terbang meninggalkan bandara.
Ferriss kehilangan kesempatan mendapatkan lebih banyak kekonyolan baru untuk ia gunakan menertawai diri sendiri. Ia kehilangan kesempatan merasakan perjalanan di udara. Ia kehilangan kesempatan pertama dan terakhirnya ke Jakarta. Tempat paling jauh yang pernah Ferriss kunjungi adalah Rantepao, Toraja, delapan hingga sembilan jam perjalanan dengan bus dari Makassar, saat menghadiri pesta upacara pemakaman nenek mantan pacarnya.
Ketika menyeberang jalan selepas membeli telur bebek buat persiapan sarapan, lima hari setelah tertidur di bandara, Ferriss mati tertabrak mobil yang dikendarai ugal-ugalan oleh seorang gadis yang menangis sehabis berkelahi dengan kekasihnya yang, seperti gadis itu katakan di koran, ia temukan sedang mencium sahabatnya.
Mengenai telur bebek, Ferriss percaya satu hal: demi mencapai kualitas hidup maksimal, manusia mesti mengonsumsi minimal 30 gram protein setiap hari, paling lama 30 menit setelah bangun pagi.
Ferriss memeroleh keyakinan itu dari Tim Ferriss, seseorang yang nama belakangnya semena-mena aku pinjam di cerita ini untuk sementara. Ferriss sering memintaku mencari artikel yang ditulis orang tersebut di Internet dan hingga sekarang aku belum pernah melakukannya. Mungkin nanti setelah tiba di Sumbawa.
Sehari sebelum mati, Ferriss menulis cerita pendek tentang perempuan bergaun tipis merah jambu yang masuk ke mimpinya saat tidur di bandara. Perempuan itu, kata Ferriss, adalah orang yang sama—mengenakan gaun dan senyum yang sama—yang ia lihat dalam mimpi basah pertamanya, ketika ia masih berusia sebelas atau dua belas tahun.
Ia memaksaku, sebagaimana sering ia lakukan, untuk membaca dan memberi masukan. Aku meminjam kata-kata Samuel Johnson dan bilang, “Ceritamu bagus dan orisinal, tetapi bagian yang bagus tidak orisinal, dan bagian yang orisinal tidak bagus.” Ferris tersenyum dan berharap punya waktu membenahinya.
Dua hari kemudian: aku sedih dan menyesalkan keterusteranganku yang tidak orisinal.
Cerita ini kutulis bukan untuk mengisahkan ulang cerita pendek yang tidak pernah sempat Ferriss perbaiki itu. Aku ketinggalan pesawat dan kupikir bukanlah hal keliru jika aku menggunakan sepotong kisah hidup Ferriss sebagai pembuka cerita, sekaligus demi menghormatinya sebagai sahabat. Menulis cerita sebagai penghormatan lebih mudah dilakukan daripada mengikuti saran seorang teman untuk mengonsumsi telur bebek setiap pagi. Ferriss, meskipun lugu dan kadang amat menyebalkan, layak masuk dalam daftar lima temanku yang paling lucu dan tidak berengsek.
*
SAAT menunggu penerbangan lain menuju Sumbawa yang barangkali akan berangkat kurang lebih empat jam lagi—sebab tiada hal pasti di bandara—aku berniat mengisi waktu di ruang merokok sambil berusaha berkonsentrasi membaca How to Do Nothing: Resisting the Attention Economy, buku Jenny Odell yang kubeli dua bulan sebelumnya. Namun, aku bertemu pria dan terusik oleh sebaris tato di lengan kirinya.
Pria itu berusia kira-kira lima tahun lebih muda dariku. Aku memiliki satu kebiasaan buruk untuk bersenang-senang menghibur diri sendiri dengan meyakinkan diri bahwa laki-laki yang tampak seusia denganku sebetulnya jauh lebih muda—atau, barangkali, ini perihal lumrah bagi pria lajang jelang empat puluh. Ia hendak berangkat ke Surabaya dan pesawat yang akan ia tumpangi mengalami penundaan jadwal entah karena apa dan berapa lama. Ia tampak gelisah sebagaimana wajah lain yang kulihat di bandara dan membuatku berpikir barangkali itulah alasan kenapa selalu ada banyak orang memakai kacamata hitam besar di bandara, bahkan pada malam hari. Tampaknya banyak orang percaya bahwa kacamata hitam merupakan teknologi canggih yang punya kekuatan untuk menyamarkan perasaan.
Aku meminjam pemantik api dan, ketika mengembalikannya, aku membaca sebaris tato di lengannya: dunia sialan. Jarak antara kedua kata itu sangat rapat. Aku sempat menganggapnya satu kata.
Pria ini, pikirku, punya selera humor yang tidak biasa; menarik untuk sekadar diajak bercakap mengenai hal-hal remeh sembari menunggu pesawat berangkat. Dalam situasi dipermainkan pihak berkuasa dengan dipaksa menunggu, manusia yang lebih lemah kadang tidak memiliki pilihan selain berusaha kreatif menyiasati ketertindasan mereka. Pria itu, sadar atau tidak, tatonya merangkum banyak persoalan; mulai dari situasi sosial, politik, dan ekonomi dunia, kebobrokan maskapai penerbangan di Indonesia yang kadang kupikir punya selera miring ingin memusnahkan manusia dari bumi, hingga kisah cintaku yang cengeng dan melulu kandas mengenaskan. Dan tato, menurut pengalamanku, merupakan bahan yang bagus untuk mencairkan suasana dan memulai percakapan antara dua orang asing.
Aku memasang senyuman paling alami yang mampu kucapai, lalu berkata, “Aku pikir juga begitu. Dunia ini memang sialan. Tato Bung kecil, tapi mengatakan banyak hal besar. Bagus sekali.”
Ia menatapku dan, karena pernah mewawancarai banyak orang, aku tahu tatapan yang ia tancapkan di wajahku berarti ada yang tidak beres dengan caraku membuka percakapan. Namun, di balik tatapan itu, pikirku, ada kisah yang menarik untuk disimak. Dan, siapa pun tahu, dalam situasi semacam itu, meminta maaf adalah cara paling cepat buat menutup pintu keluar bagi cerita dari diri seseorang.
Aku diam dan balas menatap sambil menunggu ia bicara.
Beberapa detik kemudian ia bertanya, “Abang mau ke Surabaya?”
“Tadi ketinggalan pesawat karena sibuk bicara di telepon dengan seorang kawan tentang macam-macam urusan. Ia yang akan menjemputku. Seharusnya kami bisa membicarakannya saat aku tiba di sana. Konyol sekali,” kataku, sebelum buru-buru menambahkan, “Baru kali ini aku ke Nusa Tenggara Barat. Pernah ke sana?”
Aku mengatakan lebih dari sekadar yang ia minta dan sengaja bertanya di akhir penjelasan demi memperpanjang obrolan. Teknik itu kupelajari dari ayah Ferriss yang, menurut Ferriss, adalah pembual paling berandal di dunia.
Pria itu tidak menjawab. Ia menyodorkan pertanyaan lain.
“Mau jalan-jalan, Bang?”
“Liburan. Sekalian cari bahan tulisan. Kawanku yang menelepon tadi pernah bercerita tentang orang-orang Bugis yang datang membeli kerbau murah di kampungnya untuk dijual lagi di Toraja puluhan sampai ratusan juta,” kataku. “Aku pikir itu sangat menarik.”
Ia lantas menceritakan kisah teman lamanya. Setelah lulus dari Jurusan Teknik Mesin di Universitas Hasanuddin, sembilan tahun lalu, temannya pulang kampung untuk meneruskan usaha ayahnya sebagai pedagang kerbau.
“Keluarganya kaya raya. Mereka turun-temurun berdagang kerbau di Toraja,” katanya. “Dan, dengar-dengar, sekarang bajingan itu jadi anggota dewan.”
“Bajingan?”
“Cerita lama. Sudahlah.”
Ia berdiri, hendak meninggalkan ruang merokok dan mengajakku pindah ke kafe. Aku meraih tas punggungku dan ikut berdiri.
Aku ingat Ferris. Sejak pagi aku belum memasukkan apa pun selain segelas air putih ke perutku. Semoga Tuhan menyediakan banyak telur bebek untuknya di surga.
*
SAMBIL menatap dada pelayan kafe berbaju merah yang meletakkan segelas kopi susu dengan ceroboh di depannya, pria itu bertanya, “Apa yang menarik dari orang Bugis membeli kerbau di Sumbawa?”
“Aku juga belum yakin apakah betul begitu, makanya aku mau ke sana. Tapi, menurut Dedi, kawanku yang menelepon tadi, pembelian kerbau besar-besaran untuk upacara kematian di Toraja berdampak buruk terhadap kehidupan penduduk di Sumbawa.”
“Contohnya?”
“Contohnya, orang-orang tidak lagi membajak sawah menggunakan kerbau. Pola pertanian mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Dan, konon, kerbau adalah salah satu bagian paling penting dalam ritual-ritual adat mereka.”
“Memang bajingan orang itu.”
“Tampaknya kau ada masalah dengan anggota dewan itu.”
Ia menatapku dan, dengan balas menatap, aku berupaya meyakinkannya bahwa aku bisa diandalkan sebagai teman dan pendengar yang baik andai ia mau menceritakan perihal yang sangat berat sekalipun. Keahlian satu ini tidak kupelajari dari Ferriss.
“Tato ini,” katanya sambil memperlihatkan lengan kanannya, “sebenarnya dulu nama pacarku. Nia namanya. Ia istri bajingan itu sekarang. Mereka menikah saat aku berjuang di hutan. Aku dulu berpikir mau membunuh mereka.”
Aku diam agar ia mau menceritakan lebih banyak. Ia mengamati tatonya dan terus bercerita.
Setamat sekolah menengah, meskipun termasuk pintar di sekolah—anggota dewan itu, katanya, dulu salah satu siswa paling tolol di sekolah—, selain karena orang tuanya tidak mampu, ia memutuskan tidak lanjut kuliah karena ingin segera menikahi Nia yang waktu itu ditaksir banyak pria lain.
“Aku tidak tahu,” katanya, “ternyata bajingan sialan itu juga mengincar Nia. Dan, cinta ternyata bikin kita tambah goblok.”
Ketika ia menyampaikan niatnya, keluarga Nia meminta uang 250 juta untuk biaya pesta. Satu-satunya jalan keluar yang terlintas di pikirannya adalah merantau ke Kalimantan. Di sana, pikirnya, ia mungkin bisa jadi buruh tambang seperti paman dan dua sepupunya.
Tidak lama setelah tiba di Kalimantan, ia mendapatkan pekerjaan.
“Tidak perlu gelar sarjana,” katanya, “dan bergaji lumayan.”
Ia cuma butuh tenaga dan sedikit keahlian. Tugasnya: menebang pohon sebanyak-banyaknya untuk lahan tempat menanam pohon-pohon jenis baru.
“Aku sengaja menulis nama Nia di lenganku, supaya bisa melihatnya setiap saat. Aku harus terus bersemangat bekerja. Aku ingin cepat mengumpulkan uang dan pulang menikah.”
“Kenapa tidak mengubahnya jadi nia sialan?” tanyaku.
Ia tertawa sambil mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk.
“Aku pikir tidak masalah menyalahkan dunia atas nasib buruk seperti itu. Mungkin malah lebih baik. Tidak adil menganggap ini salah Nia. Ia tidak salah sama sekali. Istriku juga barangkali marah kalau melihat di lenganku ada nama mantan pacarku.”
“Sudah menikah?”
“Sudah. Sudah dua minggu anakku ada di Surabaya. Di rumah neneknya. Ibunya ikut. Makanya, aku mau ke sana. Rindu,” katanya. “Abang punya anak?”
“Satu. Baru lima tahun,” kataku berbohong. “Namanya Ferriss.”
“Anakku belum cukup setahun. Istri Abang orang apa?”
“Orang Toraja,” kataku, sekali lagi berbohong. “Masih kerja di Kalimantan?”
“Sudah lama berhenti. Kerja di hutan berat, apalagi kalau ada istri. Sekarang kami buka usaha kecil di depan Pasar Pannampu. Warung kopi,” katanya.
“Dulu, di Kalimantan, pernah merasa bersalah menebang pohon? Pertanyaanku mungkin agak mengganggu, tetapi berhubungan dengan persoalan yang mau kutulis di Sumbawa.”
“Tidak sama sekali. Aku tidak peduli. Pikiranku cuma mengumpulkan uang secepat-cepatnya. Tapi — ” Ia berpikir sejenak sebelum lanjut, “seperti Abang bilang tadi, bisa jadi hutan di Kalimantan habis karena biaya pernikahan di Sulawesi Selatan ini mahal. Sekarang aku baru memikirkannya. Bisa jadi memang begitu.”
“Iya,” kataku. “Bisa jadi.”
Aku tertawa karena mengingat nasibku dua kali gagal menikah karena urusan uang pernikahan yang terlampau mahal. Ia juga tertawa sambil berdiri karena mendengar namanya dipanggil.
“Nanti aku yang bayar,” kataku ketika melihat ia hendak merogoh sakunya.
“Terima kasih, Bang,” katanya. “Kalau pulang dari Sumbawa, singgahlah di warung kopi kami. Cari Warkop Teman Lama di depan Pasar Pannampu. Aku cuma tiga hari di Surabaya. Sampai ketemu lagi, Bang,” katanya sebelum meninggalkan kafe tergesa-gesa.
Aku mendengar suara seorang perempuan yang lantang dan bergema di ruang tunggu menyerukan panggilan terakhir kepada Alan Herdiansyah untuk segera naik ke pesawat. Aku tidak mampu menahan tawa dan orang-orang di kafe itu tiba-tiba berhenti bicara dan menatapku.
*
MASIH ada waktu kira-kira satu setengah jam sebelum pesawat ke Sumbawa berangkat. Sambil menunggu, aku pikir, tidak salah mencoba menulis satu cerita tentang tato di lengan Alan. Barangkali menarik menulis cerita pendek mengenai etos merantau orang Bugis sebagai narasi yang perlu digugat, mistifikasi dan depolitisasi untuk menutupi kesenjangan kelas yang menjadi perkara utamanya. Ah, terdengar sebagai persoalan yang sangat serius untuk dipikirkan di kafe ruang tunggu bandara!
Kata-kata Ferriss mengenai cara paling buruk menemukan ide cerita yang baik, yang dulu selalu kuanggap lucu, aku pikir, ada betulnya dan tampaknya cukup menarik digunakan sebagai pembuka cerita.
*