derita sudah matang, bung
puisi yang disusun dari baris pertama semua puisi Wiji Thukul di buku Nyanyian Akar Rumput secara berurutan
pulanglah, nang
seperti bambu runcing
seperti tanah lempung
di sini kamu bisa menikmati cicit tikus
anjing nyalak
jalan raya dilebarkan
udara ac asing di tubuhku
jika kau tak sanggup lagi bertanya
bapak tua
bagong namanya
ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
ini tanahmu juga
saban malam
dulu kanan dan kiri jalan ini
kepada para pelaku
panas campur debu
tetangga sebelahku
mendung hitam tebal
lingkungan kita si mulut besar
akulah bocah cilik itu
kucing hitam jalan pelan
di ujung sana ada pabrik roti
di sini terbaring
aku nganggur lagi
barangkali karena ikan laut yang kumakan ya
kota macam apa yang kita bangun
aku pangling betul
di radio aku mendengar berita
setumbu nasi
jika harga minyak mundhak
aspal leleh tengah hari
beli karcis di loket
tikar plastik, tikar pandan
dalam gang pikiranku menggumam
tanah mestinya dibagi-bagi
kembang dari pinggir jalan
tong potong roti
gunungbatu
suti tidak pergi kerja
apa yang berharga dari puisiku
bila pagi pecah
angin menggoyang
jam dua malam
pak bejo membentak bininya:
jangan lupa, kekasihku
kudongkel keluar
apa guna punya ilmu
seratus lubang kakus
warsini! warsini!
pada masa kanak-kanakku
apakah nasib kita akan terus seperti
anak-anak kecil
seumpama bunga
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
kopi tinggal ampas
istirahatlah, kata-kata
jika rakyat pergi
kaum gelandangan yang mendengkur pulas
lupakanlah itu, para kritikus sastra!
sukmaku merdeka
pada senin pagi ketika matahari rohani terbit
biji-biji pilihanku sudah tumbuh
mimpi-mimpi bagusku kubunuh dengan kenyataan
pada malam itu kami berkumpul dan berbicara
di lembang ada kawan sofyan
jauh hari sebelum kedua clash dalam sejarah kita
prisma di dalam cermin yang bercahaya
bulan malam membuka mataku
semenjak pagi bangun
di belakang gedung-gedung tinggi
seorang lelaki kelana di dunia batin
desa yang tandus ditinggalkannya
ibu
sebab harga diri tak bisa dibeli
jika kau menagih baktiku
saudara
di dalam diriku ada hutan
ada pelangi di langit sore
di mana moncong senapan itu?
yang kutunggu cuma kapan
suatu hari aku bertamu ke rumah paman matahari
ye
tak usah terkejut pun
api yang bernama rahmat
dari udara sama
sebuah topi mahal jatuh di jalan raya
belilah senapan sungguhan ini
kesabaran berdenyut seperti darah dan daging
kita tambang
rahasia apa di tabir waktu
semenjak aku berkenalan denganmu
kubuka atap pagi
di tingkat empat
tak pernah selesai pertarungan menjadi manusia
sajak ini mengajakmu tamasya
aku dilahirkan di sebuah pesta yang tak pernah selesai
senja ini
tengah malam, dan suara jatuh
kembali kucari
sebelum datang
rambutku gondrong, benakku adalah hutan
hidup
ketika tiba-tiba lampu merah
musim bunga bangun
yang gelisah mengajakku pulang
burung dara pagi terbang
kalau angka aku pun angka tak genap
hari demi hari tanggal, gelisahku
sapaan anjing dari kelompok pink floyd rasuk ke darah
tadinya aku pengen bilang
parit susut
seekor kucing kurus
ayo keluar keliling kota
ember kosong
seekor tikus
semua bengkok
derita sudah matang, bung
gerimis menderas tengah malam ini
sepasang burung dara berkasihan
ibunda
kaulempar aku dalam gelap
kuterima kabar dari kampung
hijau, hijau
baju lain
apakah aku ini tepung terigu atau gumpalan kapas
maunya mulutmu bicara terus
sungai ini merah dulu airnya
bulan membayang di pelabuhan yang tak capek-capek
anak kecil
aku berkelana di udara
pada hari coblosan nanti
berminggu-minggu, ratusan jam
momok hiyong si biang kerok
walau penguasa menyatakan keadaan darurat
aku pernah menyaksikan
kutundukkan kepalaku
aku bukan artis pembuat berita
siang tadi aku beli baju
leuwihgajah berputar
leuwihgajah tak mau berhenti
tempat pertemuan kami sempit
jika tak ada mesin tik
ada kata baru kapitalis, baru? ah, tidak, tidak
masuk toko
berlima dari solo, berkereta api kelas ekonomi murah
sajakku adalah kata-kata
sudah dengar cerita mursilah?
pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. tapi aku
aku diburu pemerintahku sendiri
darahku mengalir hangat lagi
pengantin baru
kuterima kabar dari kampung
wani
penindasan adalah guru paling jujur
kekuasaan yang sewenang-wenang
ujung rambut, ujung kuku
jakarta simpang siur
berhari-hari — ratusan jam — ratusan kilometer — puluhan
apa penguasa kira
ketika datang malam
habis cemasku
ayo kita tebakan!
hujan malam ini turun
bernapas panjanglah
di ruang ini yang bernapas cuma aku
bulan agustus sudah tiba
sebuah bank
di atas rumah ada burung
pagi dingin
nonstop 24 jam
*