Beberapa Hal yang Saya Pelajari sebagai Pustakawan Komunitas
atau sedikit perihal Community of Care
(Catatan sederhana ini saya tulis pada 2016 untuk merekam aktivitas saya di Katakerja dan pernah tayang di Medium—dan, dengan sedikit perubahan, saya tayangkan ulang di sini selepas melihat percakapan menarik yang berkembang di Xwtitter beberapa hari terakhir.)
“A library in the middle of a community is a cross between an emergency exit, a life raft, and a festival. They are cathedrals of the mind; hospitals of the soul; theme parks of the imagination.” — Caitlin Moran, The Library Book
Saya percaya dalam diri setiap manusia tertanam sekurang-kurangnya satu dendam masa kecil. Dendam itu, besar atau sepele, banyak atau sedikit, disadari atau tidak, tumbuh dan memengaruhi hidup kita hingga dewasa.
Saya lahir di kampung kecil di mana saya tak bisa mengakses buku bacaan, kecuali di perpustakaan kakek saya yang isinya tidak seberapa. Saya marah dan membawa kemarahan itu sampai sekarang. Meski begitu, dibandingkan dengan banyak anak lain, saya jauh lebih beruntung memiliki kakek yang senang membaca buku—dan memiliki sejumlah buku untuk mengisi masa kecil saya yang suram.
Saya selalu ingin masuk sekolah berperpustakaan bagus. Namun, di kabupaten tempat saya menghabiskan masa kecil, perkara semacam itu sama dengan urusan mencari toko permen di tengah hutan.
Tamat SMA, pada 1997, saya tidak langsung melanjutkan kuliah. Saya memilih berangkat ke Makassar untuk balas dendam—saya menghabiskan satu tahun usia saya dengan membaca buku dan menjadi anggota di semua perpustakaan yang mengizinkan saya. Pada masa itu, ada cukup banyak perpustakaan umum di Makassar yang bisa saya akses. Ketika akhirnya kuliah, di tengah euforia reformasi, bersama sejumlah kawan, saya membangun ruang baca di Komunitas Ininnawa.
Selain ruang baca kecil yang tidak pernah cukup ramai itu, kami bikin Perpustakaan Punggung. Kami berangkat ke kampus, nyaris tiap hari, dengan tas punggung yang cukup berat untuk membuat siapa pun bungkuk. Tas kami berisi buku-buku yang boleh dipinjam teman-teman kami yang lain. Namun, anda tahu, pergi ke kampus saja sudah berat minta ampun, terutama bagi pemalas seperti saya, apalagi harus membawa puluhan buku.
Bersama mantan kekasih (semoga dia hidup bahagia bersama suami dan anak-anaknya!) dan beberapa sahabat, pada 2004, kami mendirikan Kafe Baca Biblioholic. Hampir bersamaan dengan itu ada beberapa ruang baca komunitas yang terbuka untuk umum di Makassar, sebagian masih ada hingga saat ini. Kafe Baca Biblioholic berhenti beroperasi sejak 2011. Namun, tidak lama setelah itu, bersama sahabat-sahabat yang lain (saya selalu beruntung dikelilingi orang-orang baik hati seperti mereka!) kami kembali membangun perpustakaan komunitas di mana saya menumpang hidup selama bertahun-tahun dan bekerja sebagai salah satu pustakawan. Namanya: katakerja.
Saya cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa sudah lebih dua puluh lima tahun—lebih dari separuh usia saya sekarang—saya hidup di perpustakaan dan berikut beberapa hal sederhana yang saya pelajari.
1.
Memiliki banyak koleksi buku pribadi bukanlah gaya hidup yang baik dan sama sekali tidak perlu terlalu dibangga-banggakan. Jika senang membaca, anda akan menghabiskan banyak uang membeli buku. Dunia penerbitan buku kita saat ini adalah dunia industri yang tidak baik-baik saja. Memajang banyak foto buku di Instagram, seperti yang kerap saya lakukan, tidak memiliki banyak perbedaan signifikan dengan memajang foto-foto jam tangan, mainan terbaru, atau kota terakhir yang dikunjungi.
Membeli banyak buku semata untuk kepentingan anda sendiri — meskipun lebih bagus dan lebih murah daripada membeli banyak telepon genggam atau pakaian model terbaru — tetaplah laku konsumtif. Jika anda penggemar serial Harry Potter, misalnya, anda cenderung berusaha menonton filmnya dan membeli pernak-pernik yang berhubungan dengan buku tersebut. Begitu industri bekerja.
Hasil penelitian Rahma Sugiharti yang terbit jadi buku berjudul Membaca, Gaya Hidup, dan Kapitalisme (Graha Ilmu, 2010) mengulas cukup baik mengenai hal ini.
Semakin banyak anda membeli buku, semakin anda memperkaya segelintir pengusaha buku. Terutama, jika anda hanya mau belanja di jaringan besar semacam Toko Buku Gramedia. Kebebalan pemerintah membiarkan monopoli kelompok Kompas Gramedia (sejumlah buku saya diterbitkan Gramedia Pustaka Utama) tidak akan membuat dunia perbukuan di Indonesia sehat—apalagi ditambah dengan tidak adanya standar harga buku yang sama, misalnya, antara Pulau Jawa dan Pulau Lain-lain, beban pajak yang masih tinggi, serta mahalnya harga kertas dan peredarannya yang terbatas di kota-kota besar di Jawa.
Saya tidak menyarankan anda berhenti beli buku. Selain pustakawan, saya seorang penulis dan, tentu saja, saya ingin orang lain membeli buku-buku saya. Tetapi, berbeda dengan pakaian, satu buku bisa digunakan oleh banyak orang selain anda.
Belilah buku-buku bagus (usahakan membeli di toko-toko kecil di sekitar anda!), dan, jika bisa, jangan hanya demi kepentingan sendiri — bukan untuk tujuan semata supaya anda bisa tampak lebih berbudaya daripada orang lain. Buku, seperti barang-barang lain, bisa tampil sebagai simbol-simbol semu kelas tertentu. Buku punya kekuatan menjadi benteng tebal yang memisahkan anda dari orang lain.
2.
Membaca adalah pekerjaan berbahaya. Anda barangkali melihat aktivitas membaca hanya berupa petualangan dari satu halaman ke halaman lain. Perjalanan dari satu hal aman ke hal aman yang lain. Anda salah. Dan, barangkali ini alasan kenapa pemerintah tidak begitu peduli dengan dunia perbukuan. Pemerintah ingin kita tetap bodoh!
Membaca adalah pekerjaan berbahaya. Pertama, anda bisa resah karena banyak membaca buku. Kedua, karena resah, anda berpikir untuk mengubah hal-hal yang anda anggap salah—dan kemungkinan anda marah kepada diri sendiri karena menyadari anda adalah salah satu penyebab masalah; kemungkinan anda mengajak teman-teman anda untuk melawan sistem yang membuat anda melakukan kesalahan. Ketiga, semakin banyak membaca buku, anda akan semakin tahu bahwa anda sebetulnya bodoh — dan siapa pula yang mau melakukan hal bodoh mengakui dirinya bodoh.
Untuk menyemangati para pustakawan, di salah satu jendela Katakerja ada tulisan seperti ini: If you feel you’re stupid, read books. If you think you’re smart, read more books.
3.
Semua orang mencintai kesunyian. Jika anda menyangkalnya, mungkin anda sedang ada masalah besar dengan diri anda sendiri. Kesunyian dan Dunia, dalam Bahasa Bugis—bahasa ibu saya, bahkan menggunakan kata yang sama: lino. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu—dan saya suka misteri itu.
Kita butuh kesunyian dan karena itulah kita mengenal liburan, piknik, pelesir, atau apa pun namanya. Tetapi, manusia adalah hewan yang aneh. Kita menghabiskan banyak uang untuk mencari ketenangan dengan pergi ke tempat-tempat ramai.
Saya menulis catatan ini dari salah satu tempat paling sunyi di Makassar, di ruang baca Katakerja, tempat yang jarang sekali jadi tujuan piknik warga. Saya tidak mengatakan bahwa perpustakaan harus sunyi. Namun, di kota yang tingkat kebisingan dan kesemrawutannya terus meningkat dari tahun ke tahun, perpustakaan adalah satu dari sedikit tempat yang bisa kita gunakan untuk menenangkan diri tanpa perlu membayar mahal.
Perpustakaan juga tempat yang bagus untuk belajar mengamati tindakan-tindakan kita—bahwa bahkan yang kita anggap sepele bisa membuat orang lain di sekitar kita merasa tidak nyaman. Dengan kata lain, perpustakaan adalah ruang yang bagus untuk berlatih menciptakan ruang aman.
[Perlu dicatat: rutin mengunjungi perpustakaan, jika anda hidup di kota yang jalan-jalannya seolah diciptakan untuk mesin semata, sebetulnya bukan perkara mudah dan murah. Anda mesti menyediakan cukup energi, waktu, dan uang!]
4.
Anda bisa lepas dari penilaian yang anda tidak suka dari orang lain. Orang-orang di sekitar anda, terutama yang tidak mengenal anda, dipenuhi prasangka dan hasrat untuk menilai anda, apa pun yang anda lakukan. Kita suka atau tidak, dunia semacam itulah yang kita huni sekarang.
Tetapi, anda bisa membaca kapanpun, di perpustakaan, tanpa perlu khawatir disebut kutu buku, kurang pergaulan, atau talekang. Kata terakhir adalah istilah yang kerap dipakai di Makassar.
Selain itu, di tengah kehidupan kita yang kian dimediasi oleh internet, bertemu secara fisik di ruang-ruang seperti perpustakaan kian dibutuhkan. Saya selalu melihat percikan harapan setiap kali melihat beberapa tubuh bertemu di satu tempat yang sama.
5.
Buku adalah media sosial yang baik — dan bisa jadi media anti-sosial yang efektif. Jika anda melihat seseorang membaca buku, sebetulnya anda sedang melihat sebuah buku menyarankan kepada anda seorang teman, comrade, atau mungkin kekasih. Saya bertemu dengan mantan kekasih saya pertama kali di perpustakaan. Saya bertemu istri saya, pacar pertama saya, di perpustakaan sekolah. Saya bertemu dengan nyaris semua orang yang sekarang saya sebut sahabat karena perantara buku. (Beberapa sahabat saya pada mulanya pustakawan yang melanjutkan hubungan mereka menjadi pustakawin!)
Sebagian besar pekerjaan saya di ruang-ruang produksi pengetahuan dimungkinkan karena pertemuan saya dengan orang-orang yang senang berada di tempat-tempat seperti perpustakaan komunitas. Bertemu dan membicarakan atau mendiskusikan buku bersama orang lain adalah satu dari sedikit kebahagiaan yang tidak mahal.
Salah satu hal yang kami bayangkan mengenai Katakerja adalah menjadikannya media sosial offline di Makassar. Buku-buku di Katakerja bahkan tidak ditata berdasarkan kategori atau genre tertentu, sebagaimana umumnya perpustakaan, agar para pengunjung dan pustakawan memiliki satu lagi alasan untuk melakukan percakapan. Di Katakerja, kami menyebut pustakawan sebagai pusatkawan.
Terlepas dari seluruh kekesalan saya kepada Makassar, saya melihat kota ini sangat dinamis dan penuh harapan dengan kehadiran banyak ruang komunitas seperti Katakerja beberapa dekade terakhir. Ruang-ruang publik alternatif yang terbuka telah menjadi bagian penting dari runtuhnya banyak sekat yang menghalangi kerja-kerja kolektif.
(Tetapi, cara paling ampuh, menurut pengalaman saya, untuk menghindari perbincangan dengan orang yang menyebalkan di tempat umum adalah membaca buku. Jika anda tidak pernah melakukannya, bawalah buku di tas ke manapun anda pergi, dan selamat mencoba.)
6.
Berlaku adil adalah hal tersulit pertama dari sepuluh hal paling sulit bagi manusia. Hal kedua, ketiga, dan seterusnya, saya belum tahu. Di bukunya, Bumi Manusia (1975), Pramoedya Ananta Toer bilang: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Semua buku di Katakerja bisa dipinjam secara cuma-cuma oleh para anggotanya. Tetapi, jika anda mau jadi anggota, ada syaratnya: menyetorkan minimal dua judul buku yang menurut anda penting untuk dibaca oleh orang lain. Hanya itu.
Kami membayangkan perpustakaan Katakerja dikelola dan dimiliki secara komunal oleh para anggotanya. Kami juga berharap koleksinya adalah sekumpulan buku penting yang disarankan oleh banyak orang. Kami membangun Katakerja bukan untuk jadi pahlawan literasi atau semacam itu. Lagi pula, sekarang manusia mungkin tidak butuh pahlawan sama sekali.
Reaksi orang yang pertama kali berkunjung ke Katakerja umumnya kaget dan bingung. Mereka kaget menemukan sejumlah buku yang sudah lama mereka cari ternyata ada di Katakerja. Mereka bingung karena tidak tahu mereka harus membaca yang mana lebih dulu. Tetapi, tentu saja, mereka hanya boleh membaca di tempat karena belum menyetor buku.
Beberapa hari kemudian mereka datang membawa dua buku yang sudah lama ingin mereka singkirkan dari rak buku mereka — karena mereka barangkali menyesal telah mengeluarkan uang untuk membelinya.
Tidak semuanya seperti itu. Ada beberapa orang yang dengan baik hati menyumbangkan buku-buku mereka yang betul-betul bagus.
Tetapi, tampaknya kita memang belum bisa dan belum terbiasa berlaku adil. Kita selalu menuntut hal terbaik dari orang lain, tetapi tidak mampu melakukan hal sebaliknya.
7.
Berciuman cuma bisa dinikmati bersama, jika kedua orang yang melakukannya sadar dan saling percaya. Mungkin kata berciuman tidak pas — tetapi, ya, consent!
Ini salah satu pertanyaan dari orang-orang yang pertama kali berkunjung ke Katakerja yang paling sering saya dengar: tidak takut buku-bukunya hilang atau tidak dikembalikan?
Kami khawatir. Tentu saja. Tanah masyarakat adat saja bisa diambil orang, apalagi buku! Tetapi, ada banyak hal yang bisa kami pelajari dengan membuka perpustakaan. Salah satunya: belajar percaya kepada orang lain.
Kita hidup di masa yang penuh kecurigaan dan, saya pikir, itu perangkap besar yang bisa membuat kita tidak mampu berbuat apa-apa untuk orang lain. Kita cuma mau melakukan hal-hal tertentu demi kepentingan diri sendiri.
Kami ingin melihat Katakerja menjadi ruang di mana orang-orang bertemu, berbagi, belajar bersama, serta melakukan dan merawat kerja-kerja kolektif. Dan salah satu modal utama untuk melakukannya adalah percaya. Kami harus belajar percaya kepada para pengunjung, dan sebaliknya.
Kata bell hooks, “Whether we learn how to love ourselves and others will depend on the presence of a loving environment. Self-love cannot flourish in isolation.” Perpustakaan komunitas sejatinya adalah salah satu ruang paling potensial untuk lahirnya, meminjam istilah bell hooks, a community of care.
Pada mulanya kita belajar bersama-sama merawat komunitas, dan, pada gilirannya, komunitas merawat kita.
8.
Buku-buku yang sudah dibaca sering kali tidak lebih berguna dibandingkan dengan buku-buku yang belum dibaca. Saya meminjam pernyataan tersebut dari Umberto Eco. Di salah satu bukunya, Nassim Nicholas Taleb membicarakan hal itu dan menyebut koleksi buku yang tidak dibaca sebagai antilibrary.
Para pengunjung Katakerja sering bertanya kepada saya: sudah baca semua buku ini? Tentu saja tidak. Salah satu alasan saya menjadi pustakawan dan penulis adalah karena saya malas membaca. Para pusatkawan Katakerja sebetulnya bukan sekumpulan orang yang betul-betul keranjingan membaca buku. Katakerja dibikin, salah satunya, untuk jadi sekolah buat kami.
Kedua pekerjaan itu, penulis dan pustakawan, memaksa saya membaca. Namun, dikelilingi oleh buku-buku yang belum saya baca punya fungsi penting dalam hidup saya. Setiap kali melihat buku-buku yang belum saya baca, saya merasa sangat bodoh karena ada terlalu banyak hal yang belum saya ketahui di sekitar saya— dan karena itu membuat saya ingin membaca lagi.
Membaca buku adalah salah satu pekerjaan paling sulit yang saya tahu — dan barangkali itulah alasan kenapa banyak orang tidak suka membaca buku.
9.
Perpustakaan komunitas bukan melulu tentang buku, tetapi juga tentang manusia. Banyak orang — termasuk dan terutama pemerintah — masih memandang perpustakaan semata sebagai tempat membaca dan meminjam buku. Hal paling penting dari perpustakaan adalah apa yang bisa dilakukan oleh manusia di dalamnya. Buku hanya alat. Perkakas.
Jika sekadar perkara buku, semua orang berduit bisa memiliki perpustakaan di rumah masing-masing. Tetapi, memiliki perpustakaan rumah, selengkap apa pun, tidak akan membuat anda bertemu dengan orang baru setiap hari di ruang baca anda.
Perpustakaan komunitas adalah tempat untuk belajar dan melakukan kerja-kerja bersama secara setara. Setiap saat kita bisa membaca di Twitter, Facebook, atau di manapun di Internet orang-orang cerdas tidak lelah melontarkan ide-ide mereka mengenai hal-hal besar atau, misalnya, gerakan melawan kekuasaan negara yang bebal dan tidak adil. Tetapi, salah satu persoalan terbesarnya adalah tubuh kita tidak terbiasa mengerjakan hal-hal kecil bersama — sehingga terlalu sulit untuk bisa melakukan satu hal besar bersama-sama. Lupakan saja dulu revolusi!
Salah satu fungsi perpustakaan komunitas adalah menjadi ruang publik alternatif di mana kita bisa berlatih mengerjakan hal-hal kecil secara kolektif.
10.
Perpustakaan komunitas adalah satu dari sedikit utopia nyata yang tersisa.
Saya sangsi anda memiliki kartu perpustakaan. Kita mungkin berpikir bahwa kartu kredit lebih penting daripada kartu perpustakaan.
Tidak memiliki kartu kredit adalah satu dari sedikit hal yang bisa saya banggakan di depan teman-teman saya. Setidaknya, saya terbebas dari surat tagihan bulanan. Kartu kredit, meskipun tidak menyerupai tali, sebetulnya adalah jerat yang bagus untuk leher kita sendiri.
Kita tidak menganggap penting kartu perpustakaan, salah satunya, karena kita hidup di kota di mana jumlah mall jauh lebih banyak daripada perpustakaan dan toko buku—sebagian besar mall itu sekarang ada di genggaman kita.
Perpustakaan komunitas adalah real utopia. Saya meminjam istilah Erik Olin Wright dari bukunya Envisioning Real Utopias (Verso, 2010). Istilah yang diperkenalkan Erik tersebut sepintas tampak mengandung kontradiksi yang parah dalam dirinya sendiri.
Real Utopia tidak sesederhana itu.
Prinsip distribusi yang berlangsung di toko buku adalah “kepada setiap orang sesuai kemampuan membayar”. Di toko buku, anda dinilai menurut isi dompet anda.
Jika anda pergi ke perpustakaan komunitas dan tidak menemukan buku yang anda butuhkan, misalnya, anda akan meminta pustakawan untuk memasukkan nama anda di daftar tunggu. Orang lain yang meminjam buku yang anda butuhkan akan merasa bersalah jika belum mengembalikannya tepat waktu. Prinsip distribusi yang berlaku di perpustakaan komunitas adalah “kepada setiap orang menurut kebutuhan”.
Pada bagian itu, saya tidak sepakat dengan orang yang mengatakan toko buku adalah surga di dunia. Saya lebih setuju ungkapan Jorge Luis Borges. “Saya selalu membayangkan surga,” katanya, “seperti perpustakaan.”
Dan semua hal yang saya sebutkan di sepanjang tulisan ini sudah cukup untuk membuat kita — atau setidaknya saya — percaya bahwa perpustakaan komunitas bisa menjadi dunia fantasi yang nyata. Real utopia. Surga.
11.
Al Hadena al Sha’bya—the popular cradle
Beberapa bulan terakhir saya berusaha mengajari diri saya, meski tidak cukup keras, terutama mengenai genosida Israel—yang didukung Amerika dan negara-negara besar lainnya—terhadap rakyat Palestina. Dari salah satu bacaan, saya menemukan konsep Al Hadena al Sha’bya, salah satu konsep dan prinsip perlawanan rakyat Palestina yang sudah ada sejak puluhan tahun. Secara sederhana konsep tersebut bisa diartikan sebagai semacam tempat lahirnya gerakan rakyat “yang menunjukkan keadaan kohesi antara perlawanan dan massa, yang menjadikan perlawanan menjadi keadaan umum.” Semacam ayunan tempat lahirnya gerakan popular, ruang di mana publik menjadikan perlawanan sebagai tindakan sehari-hari.
Inilah yang kita saksikan di berbagai penjuru dunia beberapa bulan terakhir—melalui layar gawai kita masing-masing, di mana masyarakat luas melalui bermacam-macam cara melakukan gerakan solidaritas. Solidaritas internasional tersebut juga menjadi jalan untuk membuka berbagai kemungkinan untuk terlibat gerakan melawan beragam bentuk kolonialisme dan imperialisme.
Pertanyaannya: Bisakah kita bergabung dalam barisan perlawanan terhadap bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme ini salah satunya, dengan memahami ruang-ruang perpustakaan komunitas di sekitar kita sebagai Al Hadena al Sha’bya?
Jika anda sepakat dengan hal-hal yang ada di tulisan ini, ada beberapa hal yang bisa anda lakukan. Pertama, aktif mendesak pemerintah, termasuk pemerintah daerah di mana anda tinggal, untuk menyediakan perpustakaan umum yang memadai—dan membuat regulasi mengenai perbukuan yang lebih adil bagi semua lapisan masyarakat. (Iya, saya tahu, sudah terlalu banyak bukti buat kita untuk mengatakan: Pemerintah kita sebetulnya tidak bisa diandalkan!) Kedua, mendukung perpustakaan komunitas di sekitar anda—bisa dimulai dengan menjadi anggota perpustakaan. Ketiga, sumbangkan buku anda—atau ajak teman-teman anda membangun perpustakaan komunitas baru. Saya percaya bahwa kita tidak lantas jadi lebih penting atau lebih keren, apalagi lebih mulia, daripada siapa pun hanya karena ada ribuan buku di dekat tempat tidur kita sendiri.
Terima kasih.
*