1.
di sini, hari itu:
hujan patah,
terbelah.
tubuh hujan (jari-jari hujan, lengan hujan, kaki hujan, mata hujan, rambut hujan, raut hujan, gigi hujan, lidah hujan, dada hujan, jantung hujan, darah hujan, keringat hujan…) tiba-tiba berhenti, mengakhiri jatuhnya di ketinggian udara—di separuh jalan.
yang tiba di tanah—menyentuh tubuh kami, membasahkuyupkan pikiran kami: hangat hujan, wangi hujan, warna-warni hujan, denyut hujan, ingatan hujan, bisikan hujan, doa hujan, keinginan dan ketidakinginan hujan, nyanyian hujan, rahasia hujan, masa lalu dan masa depan hujan, jiwa hujan…
tetapi, seperti biasa, kami hanya punya ketidaktahuan: siapa yang sanggup menerjemahkan hujan hari itu untuk kami? siapa, siapa lagi, yang sanggup menerjemahkan hujan hari-hari setelah hari itu untuk kami? siapa, siapa lagi…
ketidaktahuan kami mungkin akan mengembun dan menguap ke udara, menjadi awan, dan, pada suatu hari baik nanti, jatuh sebagai hujan, hujan yang telah
menerima dirinya tak terterjemahkan.
2.
di entah mana, barangkali
dalam sajak lama, hari yang sama:
hujan adalah hujan.
seorang perempuan ingin menyusuri lorong hari itu sambal menangis. ia ingin menangis seperti seorang gadis kecil. tanpa perlu payung. tanpa perlu hujan atau gerimis. tanpa perlu rasa malu.
ia memungut dan mengumpulkan hujan; ia memulangkan hujan ke udara, ia meletakkan kembali hujan satu per satu di ketinggian; ia, ketika mengambil hujan terakhir dari tanah, mendapatkan di atas kepalanya telah membentang atap hujan: basah yang berkilau dan luas, laut yang mengapung di udara…
dan ia mulai menangis menangis menangis di bawah bening bayangan atap hujan…
ia, di sela-sela tangis, berkata kepada dirinya sendiri: di hari lain nanti ketika hujan kembali hujan, aku telah memiliki kehilangan ini
dan kehilangan ini telah memilikiku.